Senin, 02 Januari 2012

Selamat Beristirahat

di parkiran sebuah kos, Cobal
kita diperkenalkan oleh seorang kawan
kawanku juga kawanmu

bersalaman, bertukar nama
bercakap canda makian berseling tawa
begitu biasa sebagai awal berteman

pertemanan dengan satu-satunya pertemuan singkat
sebatas sebatang rokok yang kita hisap berdua
yang belum habis saat aku atau kamu pulang

pertemanan kita berlanjut lewat sebuah buku,
Belajar Nakal : Catatan Berantakan Dari Kota Setengah Gila,
milikmu
yang dipinjam kawan kita itu darimu,
yang kemudian aku pinjam darinya,
setidaknya begitu menurutku, menurutmu ? siapa tau.
kamu menyusul seorang tokoh demonstran, Soe Hok Gie,
ke Gunung Semeru dengan puncaknya Mahameru,
tempat peristirahatan terakhir para dewa

Selamat beristirahat
Biar bukumu kusimpan
Siapa tau ada yang mau pinjam


Senin, 24 Oktober 2011

Kuliah Akuntansi Keuangan Sektor Publik (AKSP) Pak Amor

#Saya tidak ingat benar, saya tulis seingat saya, jadi pasti tidak mirip "plek" dengan aslinya (ada tambahan (yang disengaja karena faktor interpretasi dari penulis yang bodoh) dan kekurangan (yang tidak disengaja karena faktor ingatan))#

"Yang penting dalam sebuah hubungan adalah cinta, karena dengan cinta semua berjalan dengan indah. Kalau sebuah hubungan dipaksakan, hanya satu orang yang cinta maka akan timbul materialisasi. Kalau hanya laki-laki saja yang cinta, maka si perempuan akan menggantungkan diri pada laki-laki. "aku sudah mau sama kamu, jadi kamu harus memenuhi kebutuhanku, kamu yang harus bekerja untuk cari uang", kata si perempuan. Begitu juga sebaliknya, jika yang cinta hanya perempuannya saja, maka si laki-laki juga akan berkata begitu." Khotbah pak Amor

"Kalau dalam hubungan dilandasi dengan cinta, maka uang bisa dicari bersama-sama, atau dengan kata lain, hubungan bukan berlandaskan uang, kalau hubungan berlandaskan uang, ketika uang itu habis/kesulitan ekonomi dalam bahasa ekonomi maka cinta itu habis bersama harta yang terkikis."

“Saat ini banyak yang seperti itu. Seperti yang banyak diberitakan di media massa, motif ekonomi (dibaca: materialisme) sering menjadi akar masalah dalam keluarga, sehingga banyak terjadi konflik yang berujung KDRT, human traficking, eksploitasi anak, perceraian, perselingkuhan dan mungkin masih banyak lagi.”

(sekitar satu tahun yang lalu tetapi masih tersimpan rapi di draft HP)

Presiden Malioboro

Berbekal api aksara sederhana di genggaman
Waktu muda dihabisi
Membaur dalam gemerlap ramah hidup gelap
Kawasan malioboro


Selama kembara di luar kewajaran
Banyak menggelar percakapan dengan sembarang siapa
Sekadar memercik api aksara sederhana
Pada lentera sastra yang dibawa kawan bicara


Sosok lesap meninggal terka
Lentera sastra sudah menyala
Atau kecewa tiba melalap

Kamis, 15 September 2011

Tatap Muka Terakhir

Di Wonosari
Wajah kita berpandangan lagi
Aku terdiam
Kau didiamkan
Tiada percakapan hadir


Ada suara kecil dari mulut mungil
Memanggil-manggil kisah indah waktu lalu
Bergema di dinding ruang kenang
Mengajak diri berkelana pada hari-hari terlalui
Meraba-raba momen kebersamaan
Selalu penuh senyum
Tiada marah pernah merekah


Dalam mata terpejam,
Adakah kau juga sedang mengenang ?

Selasa, 13 September 2011

yah, Mati deh

Orang itu tertembak setelah menembak. Dia tersungkur kena peluru di dada. Polisi menghampiri,”Sekarat. Mobil. Cepat.” ”Remaja ini mati.” Teriak dari seberang. Orang itu dan yang ditembak dinaikkan mobil. Dilarikan ke rumah sakit.


“Dokter.... Selamatkan ! Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.”
“Apa yang dilakukannya ?”
“Membunuh.”
“Ya sudah, biarkan saja, kalau mati, dia sudah bertanggung jawab.”
“Dimana perikemanusiaan ?”
“Dimana perikeadilan ?”
“Biar hakim memutuskan. Cepat !”
“Ah, lagi-lagi kasus ini.”
“Cepat ! Dia sekarat.”
“Masih perlu pembunuh diselamatkan ?”
“Tentu saja, dia manusia.”
“Bagaimana jika nanti membunuh lagi ? Lebih banyak ? Kan tanganku ini juga membunuh meski tidak secara langsung. Kamu siap menanggung dosa dan derita ?”
“Ya nggak mau, kamu berbuat, kamu tanggung sendiri.”
“Apa ? Kamu juga terlibat. Kan situ yang suruh !”
“Aku tidak bisa dituntut. Tidak ada saksi dan bukti autentik. Suara memudar di udara.”
“Tak butuh saksi dan bukti. Pengakuan !”
“Aku tak mau mengaku tanpa saksi dan bukti.”
“Masa perbuatan sendiri tidak diakui. Tak adil !”
“Yah, mati deh. Apa-apaan kalian, bukan menolong malah berdebat.”
“Kamu pembunuh !”
“Bukan. Kamu. Dia mati ditembak. Kan kamu yang menembak !”
“Kamu ! Tak mau segera menolong.”
“Kamu mengulur waktu. Mengajak debat.”
“Sudah, sudah ! Biar saja ! Tidak ada membunuh-dibunuh. Dia mati karena rohnya menanggalkan raganya.”