Senin, 02 Januari 2012

Selamat Beristirahat

di parkiran sebuah kos, Cobal
kita diperkenalkan oleh seorang kawan
kawanku juga kawanmu

bersalaman, bertukar nama
bercakap canda makian berseling tawa
begitu biasa sebagai awal berteman

pertemanan dengan satu-satunya pertemuan singkat
sebatas sebatang rokok yang kita hisap berdua
yang belum habis saat aku atau kamu pulang

pertemanan kita berlanjut lewat sebuah buku,
Belajar Nakal : Catatan Berantakan Dari Kota Setengah Gila,
milikmu
yang dipinjam kawan kita itu darimu,
yang kemudian aku pinjam darinya,
setidaknya begitu menurutku, menurutmu ? siapa tau.
kamu menyusul seorang tokoh demonstran, Soe Hok Gie,
ke Gunung Semeru dengan puncaknya Mahameru,
tempat peristirahatan terakhir para dewa

Selamat beristirahat
Biar bukumu kusimpan
Siapa tau ada yang mau pinjam


yang kamu tandai:

Hidup memang selalu demikian. Tetapi, janganlah engkau menurut saja demikian. Perkelahian memang seharusnya dilerai. Tetapi, engkau jangan pernah takut bila harus berkelahi. Demikian pula dengan kewajiban. Ah, siapakah yang sesungguhnya pernah benar-benar suka dengan kewajiban. Semestinya, tidak perlu ada kewajiban dalam hidup ini. Yang perlu ada hanyalah kebutuhan. Ya, kebutuhan.

Aku merasa kita harus menjalani hidup dengan kritis dan tidak waton mlaku.

Faktor-faktor pendukung tersedia dan harmoni sudah tercipta, namun kita sering kali menerima dan atau menolak keadaan selanjutnya. Kita terlampau sering mengira bahwa lingkungan terdekat kita adalah melulu rival yang harus selalu kita curigai tipu muslihatnya. Di seberangnya, kita juga sering berprasangka baik pada keadaan yang sedang berkembang sehingga alam dan lingkungan seolah-olah tanpa cela.

Semoga setelah kita berbincang, kita tak mencemaskan kehidupan yang tengah kita jalani. Aku mengajak kalian merayakan harmoni dan optimisme, tujuan dan kerja keras, tawaran dan kemauan, main-main dan keseriusan, senang-senang dan pemikiran. Mari kita hidup dalam keseimbangan. Mari menertawakan kehidupan. Let’s find anything funny. Bukankah Tuhan tidak otoriter? Bukankah kehendak terlampau sulit untuk dibikin seragam.

Aku dan kalian dipaksa untuk ramah pada setiap orang. Syukurlah kalau kalian jujur menampakkan geseran wajah dari masam menjadi ramah. Namun, marilah kita juga tanyakan pada nurani masing-masing di manakah letak motif yang sebenarnya.

Sikap kritis adalah kemerdekaan, penolakan adalah pemberontakan. Tentu saja asal kita punya sandaran atas sikap yang kita kemukakan. Sebab kalau tidak ada sandaran, maka kita adalah sepasukan kambing yang hanya tahu cari makan dan pulang kandang ketika malam menjelang. Karena kita menolak menjadi kambing dan memilih untuk jadi penggembala, maka marilah kita gunakan nalar dan akal pikiran secara seimbang.

Ya, mari kita setia pada pilihan dengan segala konsekuensinya. Termasuk ketika kita menghadapi dinding tebal penuh masalah. Ah, dinikmati sajalah. Bukankah hidup kita tak pernah menolak dibikin menjadi seperti apa pun oleh kita ? Bahkan, ketika kita menemukan makna-makna baru ataupun tandingan dari hidup kita ?

Aturan kehidupan menggariskan agar kita bersekolah, maka kita menghabiskan hampir sepertiga usia hidup kita untuk bersekolah. Karena kabarnya, kalau tak menuntut ilmu di sekolah, maka kita hanya akan jadi sampah.

Pilihannya ya atau tidak. Keraguan adalah kekalahan. Berbeda pandangan dan memilih lain tindakan adalah pemberontakan.

Bukankah kita di sekolah justru sering mengikuti pelajaran dengan malas-malasan, tawuran, dan lebih memilih merayu teman-teman perempuan? Pikiran usilku demikian: andai tak bersekolah mungkin kita malah menjadi “baik” dan “tertib”. Rajin bangun pagi, giat membantu orang tua, sopan kepada sesama, taat beribadah pula.

Konsekuensinya mungkin berupa penghasilan dan biaya material yang dikeluarkan. Taruhlah, misalnya, telat kaya atau terlambat menikah. Tapi, jika dia kita tanya apakah merasa bahagia dan dia ternyata menganggukkan kepala, lantas kita mau bilang apa? Hei, adakah yang tahu letak persis surga itu ada di mana ?

Aku dan kalian lebih asyik bersikap tak genah diam, selalu penasaran, pergi ke sana-sini, saling tipu, dan saling bantu. Tak apalah, toh kita enggan hidup dalam kurungan dengan raut muka yang terpaksa dibikin penuh senyuman, padahal kita sebenarnya jengah dan merasa bosan.

Marilah merasa senang menjadi manusia, agar hidup tak melulu dikeluhkan. Marilah menikmati kejutan dan petualangan, agar aku dan kalian tak seperti buah-buah karbitan yang dipaksa matang demi kepentingan makan orang-orang sialan.

Belanjakanlah uang kalian sesuai kebutuhan. Rayakan kebebasan kalian dengan segala risiko yang menghadang. Belajarlah hingga rontok otak kalian dan kena stroke. Diam sajalah kalian kalau memang enggan melakukan apa pun, asal kalian sadar bahwa zaman sudah berlari hingga dimensi kesekian.

Maksudku, apa ada yang mampu mendefinisikan makna tata krama? Bukankah itu tergantung pada kewenangan dari pihak-pihak yang berkuasa? Tata krama sebagai acuan nilai mungkin benar adanya. Namun, tata krama sebagai model tindakan, siapa yang bisa mengukurnya?

Lalu, rumah dijadikan kerangkeng yang dianggap nyaman padahal hidup yang sebenarnya ada di tengah lingkungan. Dan anak-anak muda menolaknya.


yang aku tandai:

Kau pernah nonton Tamara Bleszynski membaca puisi, kan? Atau, Dian Sastro yang melahap sajak ? Tak usahlah kau mengajakku berdebat soal cara dia membaca atau model pengucapan yang dilakukannya. Nikmati saja wajah cantiknya, asal kau tak lupa bahwa sajak lahir bukan untuk berurusan dengan wajah yang menarik.

Kau boleh merayu kekasihmu dengan sekarung puisi dan segerobak kembang. Asal kau tahu, puisi lahir bukan hanya untuk rayuan.

Tubuh kita yang ringkih, juga badan yang sering letih, akan menyatu dalam perasaan yang terus merintih. Aku dan kalian mestinya terus belajar meyakini pilihan dan kebutuhan. Kalau kita tak sempat merenunginya, maka kita harus bersiap-siap untuk tetap mengalami rasa penat. Dan kita tahu, dalam keadaan semacam itu, kita sulit untuk tabah atau melambatkan langkah. Kita mungkin akan mengumpat atau justru mensyukurinya. Tapi, kita tentu saja sulit untuk bersikap jujur mengakui keadaan yang sebenarnya. Demi lingkungan yang mengharuskan kita baik-baik saja, raut muka yang ditekuk haruslah dipaksa tersenyum.
Siapa aku?
Siapa kalian?
Apakah kita perlu berpura-pura tenang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar