Selasa, 09 Agustus 2011

Pergi-Pulang

Suamiku,
Dulu engkau memintaku pergi
Dengan hujan peluru bujuk rayu
Bermesiu janji tenang dan terang
Untuk pulang kepadamu
Tapi setelah aku pergi, pulang kepadamu
apa yang kudapati sekarang ?
Kau cederai janjimu padaku
Kau kebiri hakku dan kewajibanmu


Suamiku,
Dengan merintih perih,
Aku minta padamu,
Uang untuk membeli susu, juga kebutuhan lain anak-anak kita,
Tapi tak juga kau berikan
Hingga aku harus berhutang


Suamiku,
Kini aku tak tahan lagi,
Jadi biar aku pergi,
setelah itu kubiarkan kau pergi


Suamiku,
Aku tak minta kau ceraikan
Aku hanya minta kau pulangkan
Tapi kenapa permintaanku tak pernah kau pedulikan ?


Suamiku,
Aku minta pada mertua
Uang untuk pulang,
Hanya jawaban iya yang kuterima
Dan lagi-lagi kau pun tak peduli untuk itu,
Untung bapak ibuku masih menerima
anaknya ini yang sering menyusahkannya
dan kini mereka sudah kirimkan uang
Dan dengan uang kiriman itu aku pulang,
Biar terdengar jelas ditelinga suara-suara angkuh dari tetangga di desa nanti,
Aku tak peduli,
Aku rela,
Demi anak-anak kita


Suamiku,
Demi anak-anak kita
Aku akan pergi untuk pulang, pulang ke orang tuaku,
Demi anak-anak kita
Kau pergilah juga untuk pulang,
Pulang ke simpananmu itu,
karena aku tahu,
ke rumah kita, bagimu itu pergi
dan kerumah simpananmu, bagimu itu pulang


Aku pergi suamiku,
Membawa serta kewajiban-kewajibanku padamu,
Biarlah jika aku harus berdosa,
Tapi ini demi anak-anak kita


Aku Pulang suamiku,
membawa serta cita-cita anak-anak kita,
juga cita-cita melihat mereka hidup bahagia
bersama cucu-cucu kita,
seperti yang pernah kita damba kelak tua


Suamiku,
Aku pergi, menuju terang
Seperti janji yang kau abaikan
Suamiku,
Aku pulang, menuju tenang
Seperti janji yang kau abaikan

Sabtu, 06 Agustus 2011

Mengayuh Senja Desa Menuju Nyala Pertama Lampu Kota

Aku, Su begitu biasanya kawan sepadan usia memanggil. Keturunan dari tetua desa atau disebut pak kaum. Seorang anak desa yang sejak kecil dituntut oleh orang tua untuk berilmu pengetahuan modern sehingga hanya TK dan SD saja belajar resmi di lingkup desa. Selanjutnya diharuskan melanjutkan sekolah di kota atau paling tidak sekolah itu berada di kawasan sebelah timur lingkup desa karena kawasan sekolah di sebelah barat dianggap menjadi sekolah yang hampir tidak memiliki prospek masa depan cerah.

Sore itu, silau menyambut mata sayu seketika setelah pintu kubuka sempurna. Secepat kilat mata sudah penuh dengan cahaya dan mulai nampak apa yang ada di sekeliling yaitu lapangan bulutangkis, jemuran, dan pepohonan.

Seiring kembalinya kesadaran, terpandang langit timur jauh masih secerah tengah hari tadi. Bersih seperti kain biru muda tanpa motif dan gradasi warna dibentangkan. Namun, hawa panas pembuat pening di kepala mereda ketika kutingggal tidur siang sekitar tiga jam. Waktu yang sangat lama untuk

Surat Abstrak

Sepucuk surat diantar angin ke beranda renungan
Teruntukku,
Tertulis sang pengirim; nenek moyang
Tertanggal; masa silam
Beralamat; tempat tepat surat dibaca


Aku awali dengan membaca cepat
surat abstrak berisi kumpulan cerita rakyat
Sekelibat tak terlihat ada yang hebat
hanya cerita pada masanya
Tentu keagungan tiada habisnya


Pada pertengahan surat kata-kata meliar
Memalingkan muka seketika berpapasan,
Tak rela disapa juga dibaca air mukanya


Aku memelankan kecepatan
Satu per satu kata mulai menebar senyum
Kami berinteraksi seakan jatuh cinta setelah benci pada pandangan pertama
makna berganda berbunga tanpa enggan


Barisan kata-kata melindas batas
Menjejakkan makna hidup
Pada lalu, kini, esok
Lebur dalam lembar jalan kehidupan segala ruang


Tertulis pesan tanda penghabisan :
Palung hati anak jaman mendangkal,
Keterburuan sebab tak dapat rasai apa tersirat


#pernah melayang ke Bentara Budaya Bali

Anomali Nominalisasi Air

Air adalah salah satu kebutuhan dasar yang sekaligus menjadi salah satu unsur sumber kehidupan tidak hanya bagi manusia, tapi juga hewan dan tumbuhan. Sedangkan hewan dan tumbuhan menjadi sumber pangan primer manusia, selain mempunyai fungsi yang lain tentunya, seperti menjaga keseimbangan alam. Jadi, air mempunyai posisi vital dalam kehidupan karena seluruh makhluk hidup bertumpu pada air sebagai sumber kehidupan primer, namun sekarang air telah mengalami nominalisasi, tidak lagi hanya berharga tapi juga sudah ada harganya. Air ada yang dijual secara kemasan dan ada juga yang djual melalui media lain seperti pam, jerigen, dan lain-lain. Padahal sesungguhnya jika kita menilik lebih dalam lagi seharusnya air bisa didapatkan dengan bebas tanpa harus membeli karena air memang seperti udara yang kebanyakan masih bisa dihirup dengan bebas.

Kenapa hal yang demikian, nominalisasi atau dapat juga disebut komersialisasi air bisa terjadi ?

Sehabis Hujan

Perlahan kubisikkan
Padamu : bolehkan aku tidak suka pada pelangi sore ini ?
Padaku : karena pelangi melepas pelukan hangatmu untukku