Kamis, 15 September 2011

Tatap Muka Terakhir

Di Wonosari
Wajah kita berpandangan lagi
Aku terdiam
Kau didiamkan
Tiada percakapan hadir


Ada suara kecil dari mulut mungil
Memanggil-manggil kisah indah waktu lalu
Bergema di dinding ruang kenang
Mengajak diri berkelana pada hari-hari terlalui
Meraba-raba momen kebersamaan
Selalu penuh senyum
Tiada marah pernah merekah


Dalam mata terpejam,
Adakah kau juga sedang mengenang ?

Selasa, 13 September 2011

yah, Mati deh

Orang itu tertembak setelah menembak. Dia tersungkur kena peluru di dada. Polisi menghampiri,”Sekarat. Mobil. Cepat.” ”Remaja ini mati.” Teriak dari seberang. Orang itu dan yang ditembak dinaikkan mobil. Dilarikan ke rumah sakit.


“Dokter.... Selamatkan ! Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.”
“Apa yang dilakukannya ?”
“Membunuh.”
“Ya sudah, biarkan saja, kalau mati, dia sudah bertanggung jawab.”
“Dimana perikemanusiaan ?”
“Dimana perikeadilan ?”
“Biar hakim memutuskan. Cepat !”
“Ah, lagi-lagi kasus ini.”
“Cepat ! Dia sekarat.”
“Masih perlu pembunuh diselamatkan ?”
“Tentu saja, dia manusia.”
“Bagaimana jika nanti membunuh lagi ? Lebih banyak ? Kan tanganku ini juga membunuh meski tidak secara langsung. Kamu siap menanggung dosa dan derita ?”
“Ya nggak mau, kamu berbuat, kamu tanggung sendiri.”
“Apa ? Kamu juga terlibat. Kan situ yang suruh !”
“Aku tidak bisa dituntut. Tidak ada saksi dan bukti autentik. Suara memudar di udara.”
“Tak butuh saksi dan bukti. Pengakuan !”
“Aku tak mau mengaku tanpa saksi dan bukti.”
“Masa perbuatan sendiri tidak diakui. Tak adil !”
“Yah, mati deh. Apa-apaan kalian, bukan menolong malah berdebat.”
“Kamu pembunuh !”
“Bukan. Kamu. Dia mati ditembak. Kan kamu yang menembak !”
“Kamu ! Tak mau segera menolong.”
“Kamu mengulur waktu. Mengajak debat.”
“Sudah, sudah ! Biar saja ! Tidak ada membunuh-dibunuh. Dia mati karena rohnya menanggalkan raganya.”

Senin, 12 September 2011

Metamorfosis

Huruf jadi kata jadi frasa jadi kalimat jadi paragraf jadi cerpen jadi paragraf jadi kalimat jadi frasa jadi kata menjelma puisi.

Basuki

Basuki, anakku lanang sawiji
Ngertio kowe, ngger
Ngopo dijenengi Basuki
Supaya urip ira basuki
Basuki kang mawa bea
Awujud wektu lan tenaga
Dudu manungsa

Minggu, 11 September 2011

Tuhan dan Rokok

Kita duduk berdua di latar langgar, 
menanti gerimis menipis, 
menikmati rokok punya sendiri.


“Aku mau shalat dulu.” Kataku, membiarkan bara.
“Kau masih juga menyembah Tuhan bahan debat, kenapa ?” tanyamu heran.


Sebentar aku terdiam. Memanjat doa berharap pembenar. Tidak terkabul. 
Hanya tanya mendatangiku. Tertuju padamu,”Kenapa kau merokok ?”


Ada benci menyusup lewat celah tanya. Tatap tajam muncul dari empat mata. Dua lawan dua. Seimbang. 


Kata-kata beradu benar. Tak ada mau salah biar sehuruf. Jalan tengah buntu. Kata-kata terhenti. Kita diam dalam bimbang. Terbahak. Lalu teriak,”Aku tak tahu. Aku suka. Sudah begitu saja.”

Sabtu, 10 September 2011

Potret dalam Pin

Kata-kata seketika tiada.
Tepat saat jari hendak ketik
Satu huruf mula kisah kita.
Tanpa terka pelengkap mengapa.

Jumat, 09 September 2011

Dongeng Pengantar Tidur#2 : Bosan Akut

“Kenapa alarm belum berbunyi kamu sudah mapan ?” Tanya ibu. Dingin. Masih menatap bacaannya.
“Iya bu, aku lelah sekali, ingin segera lelap.” Keluhku.
“Kan kau tidak mengeluh ?”
“Tidak Bu. Aku cuma mengatakan yang sesungguhnya.” Ku bohongi ibu. Lagi.
“Baiklah.” Ibu menutup bacaannya. Menggantinya dengan buku dongeng. Dibukanya halaman yang kemarin ditandai..
“Bu.”
“Iya, ada apa ?”
“Kan dongeng kemarin belum selesai. Kenapa tak dilanjutkan dulu sampai selesai ?”.
“Hmmm….Baiklah. Kau sudah pintar meminta.” Ibu menutup buku dongeng. Menaruhnya di atas perutnya. Memejamkan kedua mata. Menarik napas dalam. Mengingat dongengnya kemarin. Meraih pundi imajinasi. Melanjutkan,” Penulis itu duduk di sebuah bangunan dusun. Bangunan itu terletak di pinggir jalan. Diapit sawah. Membelakangi sawah pula. Melamun. Menyungging senyum bosan. Bosan karena hanya pujian yang didapatkan.

Orang-orang mulai berdatangan. Penulis itu bergeming di tempatnya. Bersila di tenpat yang sudah dilingkari. Khusus baginya. Orang-orang itu duduk berhadapan dengannya. Berbincang satu dengan yang lain. Kemudian tiba serombongan lagi bersama Pak Kepala Dusun. Rombongan itu membaur dengan orang-orang yang datang lebih dulu. Pak Kepala dusun berdiri disamping penulis itu. Semua diam. Pak Kepala Dusun menebar pandang perlahan. Menghitung penduduk dusun yang datang. Pandangan sampai sudut terakhir. Bicara sedikit teriak,” Seluruh penduduk dusun sudah lengkap. Segala usia, semua jenis kelamin, semua profesi, sudah hadir. Pengadilan Bebas hari ini dinyatakan “DIBUKA”. Silakan semua berpendapat. Apa saja. Sesuai tema.” Pak Kepala Dusun menoleh dan mengangguk pada penulis. Berjalan menuju kumpulan orang dusun. Duduk membaur.

Yang bicara pertama adalah penulis,” Saya ini bosan. Bosan akut. Apa saja yang saya tulis, kalian bilang suka. Tulisan satu kalimat tanpa judul pun, kalian bilang suka. Kalian selalu memujiku. Kalian memuji tulisanku. Tidak satu pun berpendapat lain. Tolong saya dari bosan akut. Saya mohon komentar, kritik dan saran. Apa saja. Asal bukan pujian. Menulis tanpa ada kritik dan saran sangatlah membosankan.. Tolong. Tolong saya.”

Beberapa orang dari dusun lain berhenti. Duduk membaur dengan orang dusun, di atas sandal, di atas rumput, di atas motor., di atas sepeda Ada juga yang berdiri. Ikut nimbrung. Segan. Diam. Ada yang bingung menyaksikan orang yang dipujanya dalam Pengadilan Bebas. Pengadilan khas dusun itu. Semua bebas mengadili. Namun yang diutamakan adalah mempertanyakan bukan mengadili. Mempertanyakan langsung pada yang bersangkutan. Namun, jika tidak ada yang mempertanyakan boleh juga berpendapat apa saja.

“Sebelumnya, maaf Tuan, saya sangat menyukai tulisan Tuan, tulisan Tuan sangat menarik, ketertarikan itu muncul dengan sedirinya, ya, sekalipun saya tidak paham dengan apa yang Tuan tuliskan, sebenarnya apa sih yang Tuan tuliskan ?” seorang anak yang masih belasan tahun angkat bicara.

Penulis menghela napas. Kecewa karena ada kata suka diselipkan. Lalu menjawab sekenanya,”Saya juga tidak tau apa yang saya tulis.”

Tanya jawab berlanjut. Semakin banyak yang angkat bicara. Semakin bervariasi. Variasi usia. Variasi jenis kelamin. Variasi profesi. Tetapi Penulis semakin bosan. Sebab setiap yang angkat bicara selalu menyelipkan suka. Lalu hening sejenak. Mungkin semua bingung. Bingung mau mengatakan apa. Mereka saling memandang. Pandangan dengan maksud agar yang dipandang berpendapat sesuatu. Tapi semua tetap diam.

Penulis panik. Meratap,”Saya sudah membuat penelitian tentang hal yang paling kalian benci. Lalu dari penelitian itu saya jadikan sebagai bahan membuat tulisan. Tapi kalian tetap bilang suka. Lalu saya harus bagaimana ?”

Orang dusun ikut panik. Serempak menoleh kebelakang. Menatap orang dari dusun lain. Meminta mereka berpendapat. Seseorang memberanikan diri bicara,”Ehm… Apakah saya yang bukan penduduk dari dusun ini boleh berpendapat ?” Semua kembali menghadap penulis. Lega ada yang berkata-kata.

“Silakan, semua boleh berpendapat, meski bukan penduduk dusun ini.” Mengharap ada kata-kata yang mengobati kebosanannya.

“Begini Tuan. Karya tetaplah keseluruhannya. Karya apapun itu. Musik. Lagu. Film. Lukisan. Juga tulisan. Kalau karya itu sebuah tulisan, ya, penulis, pembaca, penjiplak, komentar, kritik, saran, suka, tidak suka hanyalah bagian-bagian dari tulisan itu. Termasuk Tuan dan rasa bosan yang Tuan derita,”

Rombongan ahli kritik yang sengaja diundang tiba. Mereka menempati posisi menyamping, antara penulis dan orang-orang yang datang. Mereka langsung menyerang. Serangan yang direka. Tidak sepenuh hati. Mereka menyukai penulis dan tulisannya. Tapi mereka datang untuk menghormati orang yang dikagumi atas undangan Pak Kepala Dusun. Sebagian ahli mengkritiknya dengan : Tuan tidak peduli dan tidak mau belajar tentang kaidah-kaidah penulisan yang benar maka tulisan Tuan selalu saja sangat berantakan. Sebagian yang lain menimpali kritik : Dia paham kaidah-kaidah penulisan, tapi dia sengaja membuat tulisannya begitu. Sebagian yang lain lagi mencela : Berhentilah menulis Tuan, tulisan Tuan buruk, seburuk rupa dan penampilan Tuan. Sebagian yang lain dari yang lain mengumpat : Penulis dan tulisannnya sama-sama aneh, sama-sama jelek. Sebagian yang lain dari yang lainnya yang lain hanya diam, tidak peduli, karena menurut mereka penulis itu dan tulisannya tidak layak untuk dikrtik.

Menjelang senja tanya jawab masih berlangsung. Belum semua angkat bicara. Pak Kepala Dusun berdiri. Menghadap seluruh yang hadir. Mengangguk. Tersenyum. Kembali bicara setengah teriak. “Senja sudah datang, Pengadilan Bebas hari ini saya nyatakan “DITUTUP”. Jika ada yang masih ingin mempertanyakan, silakan langsung pada Tuan penulis (menoleh pada penulis). Dia tinggal di sana (Menunjuk sebuah rumah di seberang jalan).”

Kecuali Pak Kepala Dusun dan Penulis, semua yang hadir berhamburan. Mungkin pulang. Mungkin main. Mungkin entah kemana. Penulis menjabat tangan Pak Kepala Dusun, mengucap,”Terima kasih Pak, Bapak sudah mau menyela waktu kerja untuk permintaan saya, membuka Pengadilan Bebas.”

“Sama-sama Tuan, Kan ini juga kerja. Masih merasa bosan ?”
“Masih Pak, tapi tidak akut lagi. Komentar, kritik dan saran tadi belum begitu greget bagi saya. Mereka masih setengah-setengah. Masih menyelipkan pujian, suka.”

Kamis, 08 September 2011

Dongeng Pengantar Tidur#1 : Penulis Aneh

Alarm Hp berbunyi. Tanda jam belajar selesai. Aku ambil selembar potongan kertas, menyelipkannya pada halaman terakhir yang kubaca. Hanya sekedar pengingat jika lupa. Meletakkan buku di sudut meja. Tanda belum selesai dibaca. Aku berdiri, meregangkan sendi, otot, urat, syaraf, pikiran, imajinasi, dan semua yang tegang.

Ibu masih duduk di tepi kasurku. Melihatku selesai berkemas, ibu ikut menutup bacaannya. Menarik napas dalam-dalam. Menghembuskannya. Mengulangnya sambil memejamkan mata.

Aku Pergi ke kamar mandi. Menjalankan ritual sebelum tidur. Menggosok gigi. Pipis. Cuci muka, cuci kaki, cuci tangan, dan mengeringkannya dengan handuk. Kembali lagi ke kamar.

Ibu masih ditempatnya. Tangannya sibuk membolak-balik halaman. Bukan buku yang dibacanya tadi. Aku hafal benar gambar di sampul itu. Ibu selalu membawa buku ajaib itu. Buku dongeng kanak-kanak. Wajah ibu menampakkan keseriusannya. Dahinya mengkerut. Matanya terpincing. Mungkin bingung memilih dongeng apa yang akan dibacakannya untuk mengantarku tidur malam ini.

Aku berbaring di kasur busaku. Membiarkan bantal menopang kepala. Menebarkan selimut dari ujung kaki sampai leher. Mendekap guling. Hadap kanan. Balik kiri. Tengkurap. Telentang. Membenahkan selimut. Mencari posisi yang nyaman untuk tidur.

Ibu tidak peduli dengan kegelisahanku. Beliau asyik dengan kegelisahannya sendiri. Bimbang. Bingung memilih dongeng. Hampir semua dongeng dalam buku itu telah dibacakan ulang lima kali. Tapi dongeng itu tetap berhasil mengantarku tidur. Lalu malam ini apa ? Aku menunggu ibu mengawali dongeng. Dari kalimat awal dongeng, aku bisa meneruskannya sampai akhir.

“Sudah nyaman nak ?” Tanya ibu, mungkin mengerti kegelisahanku.

“Sudah Bu.” Jawabku berbohong, aku belum nyaman, tapi tak sabar mendengar kalimat pertama dongeng malam ini.

Ibu menaikkan kedua kakinya pada kasurku. Mengambil bantalnya yang sengaja ditaruh di kamarku. Meletakkanya melintang pada kepala ranjang. Menyandarkan punggung dan kepalanya pada bantal. Mengangkat buku dongeng biar bisa dibaca dengan nyaman. Membuka halaman yang sudah ditandai. Lalu,“Ya, awalilah segala dengan nyaman, termasuk tidur, agar ketika bangun nanti kembali segar bugar, bukan malah…”

“Lesu.” Selaku. Aku juga hafal benar setiap kata ibu sebelum mengantarku tidur dengan dongengan. “Lekas baca dongengnya Bu, aku sudah siap untuk terlelap”.

“Kamu selalu saja tidak bisa…”
“Bersabar kan Bu ?”
“Iya”, Tu kan benar, aku hafal benar kata Ibu. “Lekas Bu.”
“Sudah siap benar ?”
“S(i)hap Bu”

“Baiklah. Dengarkan baik-baik ya. Perhatikan.” Ibu menarik napas secukupnya, biar habis pas dengan kalimat pertama. “Pada jaman….”

“yang akan datang, entah kapan itu, yang jelas datangnya masih sangat lama. Begitu sepertinya lebih baik Bu, aku sudah bosan dengan waktu dahulu kala. Kan Ibu bilang, cuma yang akan datang yang memberi kemungkinan.”

“Hmmm…”, Ibu menghela napas, membelaiku dengan tatapannya, kemudian tersenyum anggun nan agung padaku.

“Ibu ulangi ya. Pada jaman yang akan datang, entah kapan itu, yang jelas datangnya masih sangat lama, hiduplah seorang…”

“Penulis, Bu, aku bosan dengan dongengan Raja, Putri, Putra Mahkota, Orang kaya menjadi miskin, atau Orang miskin menjadi kaya. Kan Ibu bilang penulis itu hebat. Apapun yang ditulisnya, dia bisa memintarkan, membodohkan, menyembuhkan, melukai, meluruskan, menyesatkan, membuat terjaga sepanjang malam, juga melelapkan tidur, pembaca tulisannya”.

“Hmmm…” Sekali lagi. Ibu menghela napas, membelaiku dengan tatapannya, kemudian tersenyum anggun nan agung padaku.

“Dengarkan baik-baik ya, Ibu ulangi lagi. Pada jaman yang akan datang, entah kapan itu, yang jelas datangnya masih sangat lama, hiduplah seorang penulis. Penulis itu sangat disegani. Apapun yang ditulisnya selalu dibaca banyak orang. Orang yang dulunya tidak suka membaca menjadi suka setelah membaca satu saja dari semua tulisannya. Bahkan ada yang hanya mau membaca kalau dia yang menulisnya.

Sebenarnya dia sendiri tidak merasa bahwa tulisannya itu bagus. Menurutnya tulisan teman-temannya lebih bagus. Tulisan orang yang baru menulis pertama kali pun dirasainya lebih bagus dan lebih layak dibaca. Oleh karena itu dia tidak menyebut dirinya sebagai penulis.”

Ibu menoleh padaku, menatap tepat kedua bola mataku, matanya yang memerah itu memperhatikanku penuh selidik, tersenyum,”Belum tidur nak?”

“Belum Bu. Kan Ibu bilang, kita harus menjadi pendengar yang baik. Apapun yang dikatakan orang, siapapun orangnya, kita dapat belajar dari apa yang dikatakannya.”

“Hmmm…” Lagi. Ibu menghela napas, membelaiku dengan tatapannya, kemudian tersenyum anggun nan agung padaku.

“Ayo Bu. Lanjutkan ceritanya.” Entah mengapa kalau ibu yang bercerita aku selalu bisa mendengarkannya dengan penuh perhatian. Biar yang diceritakannya adalah cerita yang sudah diulang-ulang, perhatianku pada setiap kata-katanya tidak pernah berkurang. Meskipun di luar kepala aku bisa melanjutkan ceritanya, tapi tetap ada daya tarik tersendiri kalau ibu yang bercerita.

“Baik Nak, Ibu lanjutkan. Penulis itu menganggap bahwa tulisannya tidak sesuai dengan kaidah yang sudah ditentukan. Dia hanya menuliskan apa yang mau dituliskan. Seakan dia tidak peduli pada isi dan kata-kata ditulisannya. Bukan seakan melainkan memang tidak peduli. Tapi tidak sengaja dia tidak peduli. Ketidakpedulian itu muncul dari alam bawah sadarnya. Sudah bawaan dari sananya.

Penulis itu dijuluki “Aneh” oleh siapa saja yang tahu tentang dirinya. Julukan “Aneh” disandangkan padanya tidak hanya karena tulisannya yang berantakan. Tetapi juga karena kebiasaannya ketika menulis. Sebelum mulai menulis dia selalu melepas perekat pada bungkus rokok. Menyiapkan bolpoint. Membuat kopi. Menyulut sebatang rokok. Menghabiskannya. Baru lah dia mulai menulis. Menulis dan menulis apa saja yang terlintas. Apa saja. Tidak dibiarkan setiap kata lewat tanpa digoreskannya pada bekas bungkus rokok.

Penulis itu mengakhiri tulisan hanya ketika dirasainya tulisan itu selesai. Tapi masih mungkin untuk disunting kembali. Menyunting sambil menuliskannya pada bekas bungkus rokok yang lain. Tetapi ketika dia sudah membuat kopi. Menyulut rokok. Menikmati kopi dan rokok sambil membaca tulisannya. Baru lah tulisan itu benar-benar selesai baginya. Sudah pasti tidak akan disunting kembali. Meskipun pada tulisan itu dirasainya ada satu kata yang diulang-ulang dalam satu kalimat, ada kalimat yang juga diulang-ulang, tidak ada keindahan kata-kata, tidak ada kohesi dan koherensi, alurnya acak-acakan, tidak sesuai kaidah-kaidah penulisan yang berlaku, akhir tulisan berbias. Pun meski tulisannya itu tidak mempunyai makna atau pesan tertentu bagi pembaca. Tetap dibiarkannya saja begitu. Baginya tulisan itu sudah selesai. Habis sebatang rokok terakhir, segelas kopi segera dihabisi. Habis. Tulisan itu selesai. Saatnya istirahat. Nanti berganti menulis yang lain.”

Samar-samar aku merasa ibu menoleh padaku. Mengecup keningku. Membenahkan selimutku. Membelaiku dengan tatapannya. Tersenyum anggun nan agung padaku. Berjalan menuju pintu. Bapak menyambut ibu. Merangkulnya. Mereka memperhatikanku. Mereka tersenyum. Aku tersenyum. Bapak mencium kening Ibu. Ibu menutup pintu kamarku. Aku terlelap.

Rabu, 07 September 2011

Perkasa

Ada yang mengamuk berebut sebut perkasa.

Tokoh pertama : Kami, manusia, paling perkasa.
Tak kau lihatkah sekali ini, kami mampu membunuh berpuluh sebangsamu sekali semprot ?

Tokoh kedua : Kami, nyamuk, paling perkasa.
Memang lebih sedikit yang bisa kami bunuh dari sebangsamu. Bahkan mungkin seribu sebangsaku belum mampu membunuh satu dari bangsamu. Namun dari yang sedikit itu, kami selipkan kepedihan bagi sebangsamu yang masih hidup. Kepedihan yang hanya bisa dihilangkan oleh kematian dari yang merasakannya. Masihkah akan kau sebut manusia paling perkasa ?

Kedua tokoh masih mengamuk.

Tokoh pertama, manusia, sebagian sibuk membuat obat pembasmi nyamuk paling mustajab. Sebagian sibuk membuat obat pengusir nyamuk paling mujarab. Sebagian sibuk membasmi nyamuk dengan obat yang dibuat. Sebagian sibuk mengolesi tubuh dengan obat pengusir nyamuk. Sebagian sibuk menggunakan tangan untuk menyablek nyamuk. Sebagian sibuk membersihkan tempat reproduksi nyamuk. Sebagian sibuk meratap. Sebagian sibuk tidur lelap. Sebagian lagi tak peduli.

Tokoh kedua, nyamuk, sebagian sibuk bereproduksi. Sebagian sibuk menyerbu. Sebagian sibuk bersembunyi. Sebagian lagi tak peduli.

Sebagian dari kedua tokoh masih mengamuk.

Sebagian tokoh pertama berkoar ;
Kepada sebangsanya : Kan kau lihat sebangsaku, nyamuk-nyamuk berguguran.
Kepada bangsa nyamuk : Takkah kau lihat itu wahai bangsa nyamuk ? Semakin banyak dari bangsamu yang mati, mati terkena obat pembasmi kami, mati tak bisa menghisap darah kami, mati di tangan kami, mati berebut tempat reproduksi sesamamu.

Sebagian tokoh kedua berkoar ;
Kepada sebangsanya : Kan kau lihat sebangsaku, manusia-manusia itu menjadi lebih sibuk, lebih tak peduli lagi pada sebangsanya dan pada dirinya sendiri.
Kepada bangsa manusia : Banyak dari kami yang mati, memang. Takkah kau lihat juga obat pembasmi yang kau tujukan untuk kami juga membunuh sebagian dari kalian wahai bangsa manusia ? Mati terkena obat bikinan sendiri, mati bunuh diri, tidakkah lebih pedih ?

Sebagian dari sebagian kedua tokoh masih melanjutkan amukannya. Tak lagi peduli siapa atau apa mati. Yang penting ada yang mati. Demi sebut perkasa.