Senin, 24 Oktober 2011

Kuliah Akuntansi Keuangan Sektor Publik (AKSP) Pak Amor

#Saya tidak ingat benar, saya tulis seingat saya, jadi pasti tidak mirip "plek" dengan aslinya (ada tambahan (yang disengaja karena faktor interpretasi dari penulis yang bodoh) dan kekurangan (yang tidak disengaja karena faktor ingatan))#

"Yang penting dalam sebuah hubungan adalah cinta, karena dengan cinta semua berjalan dengan indah. Kalau sebuah hubungan dipaksakan, hanya satu orang yang cinta maka akan timbul materialisasi. Kalau hanya laki-laki saja yang cinta, maka si perempuan akan menggantungkan diri pada laki-laki. "aku sudah mau sama kamu, jadi kamu harus memenuhi kebutuhanku, kamu yang harus bekerja untuk cari uang", kata si perempuan. Begitu juga sebaliknya, jika yang cinta hanya perempuannya saja, maka si laki-laki juga akan berkata begitu." Khotbah pak Amor

"Kalau dalam hubungan dilandasi dengan cinta, maka uang bisa dicari bersama-sama, atau dengan kata lain, hubungan bukan berlandaskan uang, kalau hubungan berlandaskan uang, ketika uang itu habis/kesulitan ekonomi dalam bahasa ekonomi maka cinta itu habis bersama harta yang terkikis."

“Saat ini banyak yang seperti itu. Seperti yang banyak diberitakan di media massa, motif ekonomi (dibaca: materialisme) sering menjadi akar masalah dalam keluarga, sehingga banyak terjadi konflik yang berujung KDRT, human traficking, eksploitasi anak, perceraian, perselingkuhan dan mungkin masih banyak lagi.”

(sekitar satu tahun yang lalu tetapi masih tersimpan rapi di draft HP)

Presiden Malioboro

Berbekal api aksara sederhana di genggaman
Waktu muda dihabisi
Membaur dalam gemerlap ramah hidup gelap
Kawasan malioboro


Selama kembara di luar kewajaran
Banyak menggelar percakapan dengan sembarang siapa
Sekadar memercik api aksara sederhana
Pada lentera sastra yang dibawa kawan bicara


Sosok lesap meninggal terka
Lentera sastra sudah menyala
Atau kecewa tiba melalap

Kamis, 15 September 2011

Tatap Muka Terakhir

Di Wonosari
Wajah kita berpandangan lagi
Aku terdiam
Kau didiamkan
Tiada percakapan hadir


Ada suara kecil dari mulut mungil
Memanggil-manggil kisah indah waktu lalu
Bergema di dinding ruang kenang
Mengajak diri berkelana pada hari-hari terlalui
Meraba-raba momen kebersamaan
Selalu penuh senyum
Tiada marah pernah merekah


Dalam mata terpejam,
Adakah kau juga sedang mengenang ?

Selasa, 13 September 2011

yah, Mati deh

Orang itu tertembak setelah menembak. Dia tersungkur kena peluru di dada. Polisi menghampiri,”Sekarat. Mobil. Cepat.” ”Remaja ini mati.” Teriak dari seberang. Orang itu dan yang ditembak dinaikkan mobil. Dilarikan ke rumah sakit.


“Dokter.... Selamatkan ! Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.”
“Apa yang dilakukannya ?”
“Membunuh.”
“Ya sudah, biarkan saja, kalau mati, dia sudah bertanggung jawab.”
“Dimana perikemanusiaan ?”
“Dimana perikeadilan ?”
“Biar hakim memutuskan. Cepat !”
“Ah, lagi-lagi kasus ini.”
“Cepat ! Dia sekarat.”
“Masih perlu pembunuh diselamatkan ?”
“Tentu saja, dia manusia.”
“Bagaimana jika nanti membunuh lagi ? Lebih banyak ? Kan tanganku ini juga membunuh meski tidak secara langsung. Kamu siap menanggung dosa dan derita ?”
“Ya nggak mau, kamu berbuat, kamu tanggung sendiri.”
“Apa ? Kamu juga terlibat. Kan situ yang suruh !”
“Aku tidak bisa dituntut. Tidak ada saksi dan bukti autentik. Suara memudar di udara.”
“Tak butuh saksi dan bukti. Pengakuan !”
“Aku tak mau mengaku tanpa saksi dan bukti.”
“Masa perbuatan sendiri tidak diakui. Tak adil !”
“Yah, mati deh. Apa-apaan kalian, bukan menolong malah berdebat.”
“Kamu pembunuh !”
“Bukan. Kamu. Dia mati ditembak. Kan kamu yang menembak !”
“Kamu ! Tak mau segera menolong.”
“Kamu mengulur waktu. Mengajak debat.”
“Sudah, sudah ! Biar saja ! Tidak ada membunuh-dibunuh. Dia mati karena rohnya menanggalkan raganya.”

Senin, 12 September 2011

Metamorfosis

Huruf jadi kata jadi frasa jadi kalimat jadi paragraf jadi cerpen jadi paragraf jadi kalimat jadi frasa jadi kata menjelma puisi.

Basuki

Basuki, anakku lanang sawiji
Ngertio kowe, ngger
Ngopo dijenengi Basuki
Supaya urip ira basuki
Basuki kang mawa bea
Awujud wektu lan tenaga
Dudu manungsa

Minggu, 11 September 2011

Tuhan dan Rokok

Kita duduk berdua di latar langgar, 
menanti gerimis menipis, 
menikmati rokok punya sendiri.


“Aku mau shalat dulu.” Kataku, membiarkan bara.
“Kau masih juga menyembah Tuhan bahan debat, kenapa ?” tanyamu heran.


Sebentar aku terdiam. Memanjat doa berharap pembenar. Tidak terkabul. 
Hanya tanya mendatangiku. Tertuju padamu,”Kenapa kau merokok ?”


Ada benci menyusup lewat celah tanya. Tatap tajam muncul dari empat mata. Dua lawan dua. Seimbang. 


Kata-kata beradu benar. Tak ada mau salah biar sehuruf. Jalan tengah buntu. Kata-kata terhenti. Kita diam dalam bimbang. Terbahak. Lalu teriak,”Aku tak tahu. Aku suka. Sudah begitu saja.”

Sabtu, 10 September 2011

Potret dalam Pin

Kata-kata seketika tiada.
Tepat saat jari hendak ketik
Satu huruf mula kisah kita.
Tanpa terka pelengkap mengapa.

Jumat, 09 September 2011

Dongeng Pengantar Tidur#2 : Bosan Akut

“Kenapa alarm belum berbunyi kamu sudah mapan ?” Tanya ibu. Dingin. Masih menatap bacaannya.
“Iya bu, aku lelah sekali, ingin segera lelap.” Keluhku.
“Kan kau tidak mengeluh ?”
“Tidak Bu. Aku cuma mengatakan yang sesungguhnya.” Ku bohongi ibu. Lagi.
“Baiklah.” Ibu menutup bacaannya. Menggantinya dengan buku dongeng. Dibukanya halaman yang kemarin ditandai..
“Bu.”
“Iya, ada apa ?”
“Kan dongeng kemarin belum selesai. Kenapa tak dilanjutkan dulu sampai selesai ?”.
“Hmmm….Baiklah. Kau sudah pintar meminta.” Ibu menutup buku dongeng. Menaruhnya di atas perutnya. Memejamkan kedua mata. Menarik napas dalam. Mengingat dongengnya kemarin. Meraih pundi imajinasi. Melanjutkan,” Penulis itu duduk di sebuah bangunan dusun. Bangunan itu terletak di pinggir jalan. Diapit sawah. Membelakangi sawah pula. Melamun. Menyungging senyum bosan. Bosan karena hanya pujian yang didapatkan.

Orang-orang mulai berdatangan. Penulis itu bergeming di tempatnya. Bersila di tenpat yang sudah dilingkari. Khusus baginya. Orang-orang itu duduk berhadapan dengannya. Berbincang satu dengan yang lain. Kemudian tiba serombongan lagi bersama Pak Kepala Dusun. Rombongan itu membaur dengan orang-orang yang datang lebih dulu. Pak Kepala dusun berdiri disamping penulis itu. Semua diam. Pak Kepala Dusun menebar pandang perlahan. Menghitung penduduk dusun yang datang. Pandangan sampai sudut terakhir. Bicara sedikit teriak,” Seluruh penduduk dusun sudah lengkap. Segala usia, semua jenis kelamin, semua profesi, sudah hadir. Pengadilan Bebas hari ini dinyatakan “DIBUKA”. Silakan semua berpendapat. Apa saja. Sesuai tema.” Pak Kepala Dusun menoleh dan mengangguk pada penulis. Berjalan menuju kumpulan orang dusun. Duduk membaur.

Yang bicara pertama adalah penulis,” Saya ini bosan. Bosan akut. Apa saja yang saya tulis, kalian bilang suka. Tulisan satu kalimat tanpa judul pun, kalian bilang suka. Kalian selalu memujiku. Kalian memuji tulisanku. Tidak satu pun berpendapat lain. Tolong saya dari bosan akut. Saya mohon komentar, kritik dan saran. Apa saja. Asal bukan pujian. Menulis tanpa ada kritik dan saran sangatlah membosankan.. Tolong. Tolong saya.”

Beberapa orang dari dusun lain berhenti. Duduk membaur dengan orang dusun, di atas sandal, di atas rumput, di atas motor., di atas sepeda Ada juga yang berdiri. Ikut nimbrung. Segan. Diam. Ada yang bingung menyaksikan orang yang dipujanya dalam Pengadilan Bebas. Pengadilan khas dusun itu. Semua bebas mengadili. Namun yang diutamakan adalah mempertanyakan bukan mengadili. Mempertanyakan langsung pada yang bersangkutan. Namun, jika tidak ada yang mempertanyakan boleh juga berpendapat apa saja.

“Sebelumnya, maaf Tuan, saya sangat menyukai tulisan Tuan, tulisan Tuan sangat menarik, ketertarikan itu muncul dengan sedirinya, ya, sekalipun saya tidak paham dengan apa yang Tuan tuliskan, sebenarnya apa sih yang Tuan tuliskan ?” seorang anak yang masih belasan tahun angkat bicara.

Penulis menghela napas. Kecewa karena ada kata suka diselipkan. Lalu menjawab sekenanya,”Saya juga tidak tau apa yang saya tulis.”

Tanya jawab berlanjut. Semakin banyak yang angkat bicara. Semakin bervariasi. Variasi usia. Variasi jenis kelamin. Variasi profesi. Tetapi Penulis semakin bosan. Sebab setiap yang angkat bicara selalu menyelipkan suka. Lalu hening sejenak. Mungkin semua bingung. Bingung mau mengatakan apa. Mereka saling memandang. Pandangan dengan maksud agar yang dipandang berpendapat sesuatu. Tapi semua tetap diam.

Penulis panik. Meratap,”Saya sudah membuat penelitian tentang hal yang paling kalian benci. Lalu dari penelitian itu saya jadikan sebagai bahan membuat tulisan. Tapi kalian tetap bilang suka. Lalu saya harus bagaimana ?”

Orang dusun ikut panik. Serempak menoleh kebelakang. Menatap orang dari dusun lain. Meminta mereka berpendapat. Seseorang memberanikan diri bicara,”Ehm… Apakah saya yang bukan penduduk dari dusun ini boleh berpendapat ?” Semua kembali menghadap penulis. Lega ada yang berkata-kata.

“Silakan, semua boleh berpendapat, meski bukan penduduk dusun ini.” Mengharap ada kata-kata yang mengobati kebosanannya.

“Begini Tuan. Karya tetaplah keseluruhannya. Karya apapun itu. Musik. Lagu. Film. Lukisan. Juga tulisan. Kalau karya itu sebuah tulisan, ya, penulis, pembaca, penjiplak, komentar, kritik, saran, suka, tidak suka hanyalah bagian-bagian dari tulisan itu. Termasuk Tuan dan rasa bosan yang Tuan derita,”

Rombongan ahli kritik yang sengaja diundang tiba. Mereka menempati posisi menyamping, antara penulis dan orang-orang yang datang. Mereka langsung menyerang. Serangan yang direka. Tidak sepenuh hati. Mereka menyukai penulis dan tulisannya. Tapi mereka datang untuk menghormati orang yang dikagumi atas undangan Pak Kepala Dusun. Sebagian ahli mengkritiknya dengan : Tuan tidak peduli dan tidak mau belajar tentang kaidah-kaidah penulisan yang benar maka tulisan Tuan selalu saja sangat berantakan. Sebagian yang lain menimpali kritik : Dia paham kaidah-kaidah penulisan, tapi dia sengaja membuat tulisannya begitu. Sebagian yang lain lagi mencela : Berhentilah menulis Tuan, tulisan Tuan buruk, seburuk rupa dan penampilan Tuan. Sebagian yang lain dari yang lain mengumpat : Penulis dan tulisannnya sama-sama aneh, sama-sama jelek. Sebagian yang lain dari yang lainnya yang lain hanya diam, tidak peduli, karena menurut mereka penulis itu dan tulisannya tidak layak untuk dikrtik.

Menjelang senja tanya jawab masih berlangsung. Belum semua angkat bicara. Pak Kepala Dusun berdiri. Menghadap seluruh yang hadir. Mengangguk. Tersenyum. Kembali bicara setengah teriak. “Senja sudah datang, Pengadilan Bebas hari ini saya nyatakan “DITUTUP”. Jika ada yang masih ingin mempertanyakan, silakan langsung pada Tuan penulis (menoleh pada penulis). Dia tinggal di sana (Menunjuk sebuah rumah di seberang jalan).”

Kecuali Pak Kepala Dusun dan Penulis, semua yang hadir berhamburan. Mungkin pulang. Mungkin main. Mungkin entah kemana. Penulis menjabat tangan Pak Kepala Dusun, mengucap,”Terima kasih Pak, Bapak sudah mau menyela waktu kerja untuk permintaan saya, membuka Pengadilan Bebas.”

“Sama-sama Tuan, Kan ini juga kerja. Masih merasa bosan ?”
“Masih Pak, tapi tidak akut lagi. Komentar, kritik dan saran tadi belum begitu greget bagi saya. Mereka masih setengah-setengah. Masih menyelipkan pujian, suka.”

Kamis, 08 September 2011

Dongeng Pengantar Tidur#1 : Penulis Aneh

Alarm Hp berbunyi. Tanda jam belajar selesai. Aku ambil selembar potongan kertas, menyelipkannya pada halaman terakhir yang kubaca. Hanya sekedar pengingat jika lupa. Meletakkan buku di sudut meja. Tanda belum selesai dibaca. Aku berdiri, meregangkan sendi, otot, urat, syaraf, pikiran, imajinasi, dan semua yang tegang.

Ibu masih duduk di tepi kasurku. Melihatku selesai berkemas, ibu ikut menutup bacaannya. Menarik napas dalam-dalam. Menghembuskannya. Mengulangnya sambil memejamkan mata.

Aku Pergi ke kamar mandi. Menjalankan ritual sebelum tidur. Menggosok gigi. Pipis. Cuci muka, cuci kaki, cuci tangan, dan mengeringkannya dengan handuk. Kembali lagi ke kamar.

Ibu masih ditempatnya. Tangannya sibuk membolak-balik halaman. Bukan buku yang dibacanya tadi. Aku hafal benar gambar di sampul itu. Ibu selalu membawa buku ajaib itu. Buku dongeng kanak-kanak. Wajah ibu menampakkan keseriusannya. Dahinya mengkerut. Matanya terpincing. Mungkin bingung memilih dongeng apa yang akan dibacakannya untuk mengantarku tidur malam ini.

Aku berbaring di kasur busaku. Membiarkan bantal menopang kepala. Menebarkan selimut dari ujung kaki sampai leher. Mendekap guling. Hadap kanan. Balik kiri. Tengkurap. Telentang. Membenahkan selimut. Mencari posisi yang nyaman untuk tidur.

Ibu tidak peduli dengan kegelisahanku. Beliau asyik dengan kegelisahannya sendiri. Bimbang. Bingung memilih dongeng. Hampir semua dongeng dalam buku itu telah dibacakan ulang lima kali. Tapi dongeng itu tetap berhasil mengantarku tidur. Lalu malam ini apa ? Aku menunggu ibu mengawali dongeng. Dari kalimat awal dongeng, aku bisa meneruskannya sampai akhir.

“Sudah nyaman nak ?” Tanya ibu, mungkin mengerti kegelisahanku.

“Sudah Bu.” Jawabku berbohong, aku belum nyaman, tapi tak sabar mendengar kalimat pertama dongeng malam ini.

Ibu menaikkan kedua kakinya pada kasurku. Mengambil bantalnya yang sengaja ditaruh di kamarku. Meletakkanya melintang pada kepala ranjang. Menyandarkan punggung dan kepalanya pada bantal. Mengangkat buku dongeng biar bisa dibaca dengan nyaman. Membuka halaman yang sudah ditandai. Lalu,“Ya, awalilah segala dengan nyaman, termasuk tidur, agar ketika bangun nanti kembali segar bugar, bukan malah…”

“Lesu.” Selaku. Aku juga hafal benar setiap kata ibu sebelum mengantarku tidur dengan dongengan. “Lekas baca dongengnya Bu, aku sudah siap untuk terlelap”.

“Kamu selalu saja tidak bisa…”
“Bersabar kan Bu ?”
“Iya”, Tu kan benar, aku hafal benar kata Ibu. “Lekas Bu.”
“Sudah siap benar ?”
“S(i)hap Bu”

“Baiklah. Dengarkan baik-baik ya. Perhatikan.” Ibu menarik napas secukupnya, biar habis pas dengan kalimat pertama. “Pada jaman….”

“yang akan datang, entah kapan itu, yang jelas datangnya masih sangat lama. Begitu sepertinya lebih baik Bu, aku sudah bosan dengan waktu dahulu kala. Kan Ibu bilang, cuma yang akan datang yang memberi kemungkinan.”

“Hmmm…”, Ibu menghela napas, membelaiku dengan tatapannya, kemudian tersenyum anggun nan agung padaku.

“Ibu ulangi ya. Pada jaman yang akan datang, entah kapan itu, yang jelas datangnya masih sangat lama, hiduplah seorang…”

“Penulis, Bu, aku bosan dengan dongengan Raja, Putri, Putra Mahkota, Orang kaya menjadi miskin, atau Orang miskin menjadi kaya. Kan Ibu bilang penulis itu hebat. Apapun yang ditulisnya, dia bisa memintarkan, membodohkan, menyembuhkan, melukai, meluruskan, menyesatkan, membuat terjaga sepanjang malam, juga melelapkan tidur, pembaca tulisannya”.

“Hmmm…” Sekali lagi. Ibu menghela napas, membelaiku dengan tatapannya, kemudian tersenyum anggun nan agung padaku.

“Dengarkan baik-baik ya, Ibu ulangi lagi. Pada jaman yang akan datang, entah kapan itu, yang jelas datangnya masih sangat lama, hiduplah seorang penulis. Penulis itu sangat disegani. Apapun yang ditulisnya selalu dibaca banyak orang. Orang yang dulunya tidak suka membaca menjadi suka setelah membaca satu saja dari semua tulisannya. Bahkan ada yang hanya mau membaca kalau dia yang menulisnya.

Sebenarnya dia sendiri tidak merasa bahwa tulisannya itu bagus. Menurutnya tulisan teman-temannya lebih bagus. Tulisan orang yang baru menulis pertama kali pun dirasainya lebih bagus dan lebih layak dibaca. Oleh karena itu dia tidak menyebut dirinya sebagai penulis.”

Ibu menoleh padaku, menatap tepat kedua bola mataku, matanya yang memerah itu memperhatikanku penuh selidik, tersenyum,”Belum tidur nak?”

“Belum Bu. Kan Ibu bilang, kita harus menjadi pendengar yang baik. Apapun yang dikatakan orang, siapapun orangnya, kita dapat belajar dari apa yang dikatakannya.”

“Hmmm…” Lagi. Ibu menghela napas, membelaiku dengan tatapannya, kemudian tersenyum anggun nan agung padaku.

“Ayo Bu. Lanjutkan ceritanya.” Entah mengapa kalau ibu yang bercerita aku selalu bisa mendengarkannya dengan penuh perhatian. Biar yang diceritakannya adalah cerita yang sudah diulang-ulang, perhatianku pada setiap kata-katanya tidak pernah berkurang. Meskipun di luar kepala aku bisa melanjutkan ceritanya, tapi tetap ada daya tarik tersendiri kalau ibu yang bercerita.

“Baik Nak, Ibu lanjutkan. Penulis itu menganggap bahwa tulisannya tidak sesuai dengan kaidah yang sudah ditentukan. Dia hanya menuliskan apa yang mau dituliskan. Seakan dia tidak peduli pada isi dan kata-kata ditulisannya. Bukan seakan melainkan memang tidak peduli. Tapi tidak sengaja dia tidak peduli. Ketidakpedulian itu muncul dari alam bawah sadarnya. Sudah bawaan dari sananya.

Penulis itu dijuluki “Aneh” oleh siapa saja yang tahu tentang dirinya. Julukan “Aneh” disandangkan padanya tidak hanya karena tulisannya yang berantakan. Tetapi juga karena kebiasaannya ketika menulis. Sebelum mulai menulis dia selalu melepas perekat pada bungkus rokok. Menyiapkan bolpoint. Membuat kopi. Menyulut sebatang rokok. Menghabiskannya. Baru lah dia mulai menulis. Menulis dan menulis apa saja yang terlintas. Apa saja. Tidak dibiarkan setiap kata lewat tanpa digoreskannya pada bekas bungkus rokok.

Penulis itu mengakhiri tulisan hanya ketika dirasainya tulisan itu selesai. Tapi masih mungkin untuk disunting kembali. Menyunting sambil menuliskannya pada bekas bungkus rokok yang lain. Tetapi ketika dia sudah membuat kopi. Menyulut rokok. Menikmati kopi dan rokok sambil membaca tulisannya. Baru lah tulisan itu benar-benar selesai baginya. Sudah pasti tidak akan disunting kembali. Meskipun pada tulisan itu dirasainya ada satu kata yang diulang-ulang dalam satu kalimat, ada kalimat yang juga diulang-ulang, tidak ada keindahan kata-kata, tidak ada kohesi dan koherensi, alurnya acak-acakan, tidak sesuai kaidah-kaidah penulisan yang berlaku, akhir tulisan berbias. Pun meski tulisannya itu tidak mempunyai makna atau pesan tertentu bagi pembaca. Tetap dibiarkannya saja begitu. Baginya tulisan itu sudah selesai. Habis sebatang rokok terakhir, segelas kopi segera dihabisi. Habis. Tulisan itu selesai. Saatnya istirahat. Nanti berganti menulis yang lain.”

Samar-samar aku merasa ibu menoleh padaku. Mengecup keningku. Membenahkan selimutku. Membelaiku dengan tatapannya. Tersenyum anggun nan agung padaku. Berjalan menuju pintu. Bapak menyambut ibu. Merangkulnya. Mereka memperhatikanku. Mereka tersenyum. Aku tersenyum. Bapak mencium kening Ibu. Ibu menutup pintu kamarku. Aku terlelap.

Rabu, 07 September 2011

Perkasa

Ada yang mengamuk berebut sebut perkasa.

Tokoh pertama : Kami, manusia, paling perkasa.
Tak kau lihatkah sekali ini, kami mampu membunuh berpuluh sebangsamu sekali semprot ?

Tokoh kedua : Kami, nyamuk, paling perkasa.
Memang lebih sedikit yang bisa kami bunuh dari sebangsamu. Bahkan mungkin seribu sebangsaku belum mampu membunuh satu dari bangsamu. Namun dari yang sedikit itu, kami selipkan kepedihan bagi sebangsamu yang masih hidup. Kepedihan yang hanya bisa dihilangkan oleh kematian dari yang merasakannya. Masihkah akan kau sebut manusia paling perkasa ?

Kedua tokoh masih mengamuk.

Tokoh pertama, manusia, sebagian sibuk membuat obat pembasmi nyamuk paling mustajab. Sebagian sibuk membuat obat pengusir nyamuk paling mujarab. Sebagian sibuk membasmi nyamuk dengan obat yang dibuat. Sebagian sibuk mengolesi tubuh dengan obat pengusir nyamuk. Sebagian sibuk menggunakan tangan untuk menyablek nyamuk. Sebagian sibuk membersihkan tempat reproduksi nyamuk. Sebagian sibuk meratap. Sebagian sibuk tidur lelap. Sebagian lagi tak peduli.

Tokoh kedua, nyamuk, sebagian sibuk bereproduksi. Sebagian sibuk menyerbu. Sebagian sibuk bersembunyi. Sebagian lagi tak peduli.

Sebagian dari kedua tokoh masih mengamuk.

Sebagian tokoh pertama berkoar ;
Kepada sebangsanya : Kan kau lihat sebangsaku, nyamuk-nyamuk berguguran.
Kepada bangsa nyamuk : Takkah kau lihat itu wahai bangsa nyamuk ? Semakin banyak dari bangsamu yang mati, mati terkena obat pembasmi kami, mati tak bisa menghisap darah kami, mati di tangan kami, mati berebut tempat reproduksi sesamamu.

Sebagian tokoh kedua berkoar ;
Kepada sebangsanya : Kan kau lihat sebangsaku, manusia-manusia itu menjadi lebih sibuk, lebih tak peduli lagi pada sebangsanya dan pada dirinya sendiri.
Kepada bangsa manusia : Banyak dari kami yang mati, memang. Takkah kau lihat juga obat pembasmi yang kau tujukan untuk kami juga membunuh sebagian dari kalian wahai bangsa manusia ? Mati terkena obat bikinan sendiri, mati bunuh diri, tidakkah lebih pedih ?

Sebagian dari sebagian kedua tokoh masih melanjutkan amukannya. Tak lagi peduli siapa atau apa mati. Yang penting ada yang mati. Demi sebut perkasa.

Selasa, 09 Agustus 2011

Pergi-Pulang

Suamiku,
Dulu engkau memintaku pergi
Dengan hujan peluru bujuk rayu
Bermesiu janji tenang dan terang
Untuk pulang kepadamu
Tapi setelah aku pergi, pulang kepadamu
apa yang kudapati sekarang ?
Kau cederai janjimu padaku
Kau kebiri hakku dan kewajibanmu


Suamiku,
Dengan merintih perih,
Aku minta padamu,
Uang untuk membeli susu, juga kebutuhan lain anak-anak kita,
Tapi tak juga kau berikan
Hingga aku harus berhutang


Suamiku,
Kini aku tak tahan lagi,
Jadi biar aku pergi,
setelah itu kubiarkan kau pergi


Suamiku,
Aku tak minta kau ceraikan
Aku hanya minta kau pulangkan
Tapi kenapa permintaanku tak pernah kau pedulikan ?


Suamiku,
Aku minta pada mertua
Uang untuk pulang,
Hanya jawaban iya yang kuterima
Dan lagi-lagi kau pun tak peduli untuk itu,
Untung bapak ibuku masih menerima
anaknya ini yang sering menyusahkannya
dan kini mereka sudah kirimkan uang
Dan dengan uang kiriman itu aku pulang,
Biar terdengar jelas ditelinga suara-suara angkuh dari tetangga di desa nanti,
Aku tak peduli,
Aku rela,
Demi anak-anak kita


Suamiku,
Demi anak-anak kita
Aku akan pergi untuk pulang, pulang ke orang tuaku,
Demi anak-anak kita
Kau pergilah juga untuk pulang,
Pulang ke simpananmu itu,
karena aku tahu,
ke rumah kita, bagimu itu pergi
dan kerumah simpananmu, bagimu itu pulang


Aku pergi suamiku,
Membawa serta kewajiban-kewajibanku padamu,
Biarlah jika aku harus berdosa,
Tapi ini demi anak-anak kita


Aku Pulang suamiku,
membawa serta cita-cita anak-anak kita,
juga cita-cita melihat mereka hidup bahagia
bersama cucu-cucu kita,
seperti yang pernah kita damba kelak tua


Suamiku,
Aku pergi, menuju terang
Seperti janji yang kau abaikan
Suamiku,
Aku pulang, menuju tenang
Seperti janji yang kau abaikan

Sabtu, 06 Agustus 2011

Mengayuh Senja Desa Menuju Nyala Pertama Lampu Kota

Aku, Su begitu biasanya kawan sepadan usia memanggil. Keturunan dari tetua desa atau disebut pak kaum. Seorang anak desa yang sejak kecil dituntut oleh orang tua untuk berilmu pengetahuan modern sehingga hanya TK dan SD saja belajar resmi di lingkup desa. Selanjutnya diharuskan melanjutkan sekolah di kota atau paling tidak sekolah itu berada di kawasan sebelah timur lingkup desa karena kawasan sekolah di sebelah barat dianggap menjadi sekolah yang hampir tidak memiliki prospek masa depan cerah.

Sore itu, silau menyambut mata sayu seketika setelah pintu kubuka sempurna. Secepat kilat mata sudah penuh dengan cahaya dan mulai nampak apa yang ada di sekeliling yaitu lapangan bulutangkis, jemuran, dan pepohonan.

Seiring kembalinya kesadaran, terpandang langit timur jauh masih secerah tengah hari tadi. Bersih seperti kain biru muda tanpa motif dan gradasi warna dibentangkan. Namun, hawa panas pembuat pening di kepala mereda ketika kutingggal tidur siang sekitar tiga jam. Waktu yang sangat lama untuk

Surat Abstrak

Sepucuk surat diantar angin ke beranda renungan
Teruntukku,
Tertulis sang pengirim; nenek moyang
Tertanggal; masa silam
Beralamat; tempat tepat surat dibaca


Aku awali dengan membaca cepat
surat abstrak berisi kumpulan cerita rakyat
Sekelibat tak terlihat ada yang hebat
hanya cerita pada masanya
Tentu keagungan tiada habisnya


Pada pertengahan surat kata-kata meliar
Memalingkan muka seketika berpapasan,
Tak rela disapa juga dibaca air mukanya


Aku memelankan kecepatan
Satu per satu kata mulai menebar senyum
Kami berinteraksi seakan jatuh cinta setelah benci pada pandangan pertama
makna berganda berbunga tanpa enggan


Barisan kata-kata melindas batas
Menjejakkan makna hidup
Pada lalu, kini, esok
Lebur dalam lembar jalan kehidupan segala ruang


Tertulis pesan tanda penghabisan :
Palung hati anak jaman mendangkal,
Keterburuan sebab tak dapat rasai apa tersirat


#pernah melayang ke Bentara Budaya Bali

Anomali Nominalisasi Air

Air adalah salah satu kebutuhan dasar yang sekaligus menjadi salah satu unsur sumber kehidupan tidak hanya bagi manusia, tapi juga hewan dan tumbuhan. Sedangkan hewan dan tumbuhan menjadi sumber pangan primer manusia, selain mempunyai fungsi yang lain tentunya, seperti menjaga keseimbangan alam. Jadi, air mempunyai posisi vital dalam kehidupan karena seluruh makhluk hidup bertumpu pada air sebagai sumber kehidupan primer, namun sekarang air telah mengalami nominalisasi, tidak lagi hanya berharga tapi juga sudah ada harganya. Air ada yang dijual secara kemasan dan ada juga yang djual melalui media lain seperti pam, jerigen, dan lain-lain. Padahal sesungguhnya jika kita menilik lebih dalam lagi seharusnya air bisa didapatkan dengan bebas tanpa harus membeli karena air memang seperti udara yang kebanyakan masih bisa dihirup dengan bebas.

Kenapa hal yang demikian, nominalisasi atau dapat juga disebut komersialisasi air bisa terjadi ?

Sehabis Hujan

Perlahan kubisikkan
Padamu : bolehkan aku tidak suka pada pelangi sore ini ?
Padaku : karena pelangi melepas pelukan hangatmu untukku


Senin, 02 Mei 2011

Mari Jalani, Mari Nikmati

Di media massa sering saya dapati apa yang menurut pendapat saya itu aneh dan itu terkait dengan hukum, undang-undang. Semua itu tentang aturan pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dan mengganggu stabilitas keamanan. Lalu dimana yang sering diserukan, bebas berpendapat ? Bukankah yang dinamakan bebas berpendapat yang bertanggungjawab itu ya sebebas-bebasnya, sedang tanggung jawab itu sendiri adalah mau dipertanyakan lagi pendapatnya sehingga tidak harus mengikuti aturan. Aturan itu sendiri mempunyai fungsi pembatasan yang terlalu berlebihan. Saya sendiri berpendapat bahwa tidak perlu ada aturan itu. Seandainya tidak sependapat bukankah akan lebih baik dipertanyakan kepada yang bersangkutan atau diam saja. Jika memang pendapat itu tidak benar tinggal memberikan bukti kebenaran dan itu rasanya lebih tepat daripada menggugat di pengadilan.

Aturan-aturan tersebut tentu akan menjadi senjata ampuh guna menaikkan perkara ke pengadilan. Bagaimana tidak, dengan hanya ejekan satu kata atau senyum kecut pun kita dapat menjadikan itu alasan untuk menggugat, perbuatan tidak menyenangkan. Saya kira dimana-mana ada yang baik, dimana-mana ada yang tidak baik, dan semua itu sangat wajar, lantas kenapa pula harus dipermasalahkan. Sedang kita dapat belajar tentang kehidupan dari orang-orang yang mengeluarkan pendapat tidak selaras dengan kita. Seorang atau kelompok lawan juga musuh seharusnya kita hormati. Pemikiran mereka yang berseberangan dengan kita dapat menjadi pelajaran tak ternilai harganya jika kita mampu menerima lebih dulu. Kita pikirkan baik-baik baru kita putuskan apakah mengikuti atau menolak. Secara tidak sadar pun kita akan belajar dari mereka. Kita mengerti kekurangan kita sehingga mampu memperbaiki. 

Saya tidak setuju dengan pendapat membanding-bandingkan satu dengan yang lain. Satu dengan yang lain itu pasti berbeda jadi tidak bisa dibandingkan dengan syarat tidak ada asumsi yang digunakan. Kita mempunyai peran berbeda-beda yang harus dimainkan. Seharusnya bekerja sama bukan malah meniadakan satu dengan yang lain. Hidup selaras, serasi, membentuk sebuah harmoni. Biar mereka hidup dengan apa yang mereka punya, kita pun begitu. Yang baik bagi mereka belum tentu baik menurut kita, begitu juga sebaliknya. Kalau keadaan memaksa harus berlawanan dan bermusuhan biar itu terjadi, jalani dan nikmati saja, tidak perlu memaksa mereka sejalan dengan kita, tidak perlu kita sejalan dengan mereka. 

Sesempurna apa pun nada yang dimainkan dalam alunan musik bisa saja tidak enak didengar. Sebaliknya, musik dengan banyak nada sumbang pun bisa juga terdengar merdu. Semua tergantung pada kita sendiri bagaimana menikmatinya.

Minggu, 24 April 2011

Pembukaan Kuliah

Ilmu pengetahuan yang selalu diserukan oleh para terpelajar atau mungkin juga oleh bukan terpelajar seakan telah menjadi hal terpenting dalam kehidupan. Saya sendiri belum juga tahu mana yang sebenarnya disebut terpelajar dan bukan atau belum terpelajar karena saya belum tahu dasar pembanding untuk kedua hal tersebut. Saya sendiri memilih jurusan akuntansi sebagai tuntutan orang tua untuk kuliah. Akuntansi yang merupakan salah satu anak dari ekonomi ini juga mempunyai dasar yang sama dengan induknya sendiri untuk menentukan hal-hal yang menjadi kekhususannya. Dasar itu juga mungkin menjadi dasar bagi semua ilmu pengetahuan agar dapat berkembang yaitu asumsi. Asumsi mendasar yang digunakan pada ekonomi juga akuntansi adalah Ceteris Paribus. Ceteris Paribus digunakan untuk menyederhanakan beragam formulasi dan deskripsi dari berbagai anggapan ekonomi atau dapat juga dikatakan apa yang berpengaruh dan tidak dapat dinilai atau dihitung dianggap tetap. Oleh karena itu, untuk dapat mempelajari sebuah ilmu pengetahuan kita harus mengetahui dan memahami dasar ilmu itu sendiri atau yang saya perkirakan itu adalah asumsi. Ya, itu hanya menurut perkiraan saya. Ilmu kira-kira menurut saya menjadi batu pijakan pertama bagi saya untuk belajar tentang berbagai hal apalagi itu hal baru.

“Ilmu Kira-Kira Menurut Saya”. Please, don’t try this at home or anywhere.

Kutipan Favorit saya “Enjoy Our Life. Let’s Find Anything Funny.”(Belajar Nakal, catatan berantakan dari kota setengah gila). (^_^)

Jumat, 04 Maret 2011

Seperti Biasa

Seperti biasa, tak lain dan tak bukan
hanya kopi yang kupesan
seperti biasa, kubiarkan lepas pandangan
menikmati debu-debu berterbangan


Aroma kopi tanpa gula yang kusuka
kopi hitam, bukan kopi susu tentunya
cukup aroma manis asap penawar pahitnya
menikmati sendiri karena canda tawa tak hadir saat ini
malam, tak usah lagi kau tanya


sepi kembali datang malam ini
kosong pikiran yang tak kuharapkan menghindar entah kemana
ah biarlah nikmati saja suasana
asal ssadar setiap denyut jantung itu berbeda

Rabu, 09 Februari 2011

Tinggallah cerita

Berjalan dengan langkah terhuyung
menapaki malam hingga ujung hari
sendiri menyatu dengan alam yang lirih
mengenang tentang kita
sambil berharap apa
tapi? ah, sia-sia
tak kudapati apa selain hanya cerita
harap ada kita di kemudian hari pun kian sepi
seiring suara langkah kaki yang kian lirih


(2010)

Selasa, 08 Februari 2011

Orang Gila Beragama

Lahirku, melahirkan seorang beragama
ini agama yang aku ikuti karena apa ?
sejak lahir hingga sekarang aku masih berada di ini agama
Mungkin karena sesuai dengan agama orang tua, hmmm...benar
Mungkin karena lingkungan juga menganut agama yang sama, hmmm.. juga benar
Mungkin karena ini memang agama yang benar-benar benar sebagai jalan menuju Tuhan, hmmm benar lagi
Tapi adakah Dia yang dituju ?
Ah, aku masih ragu untuk semua itu
sepertinya aku ini orang gila beragama, tanpa sadar sebenarnya hanya ikut-ikut saja
Tapi orang gila ?
Bukankah orang gila tak bisa dipaksa ?
Orang gila sepertinya orang yang bebas melakukan apa saja sekehendak hatinya,
kalau begitu, orang gila, beragama, karena kemauannya sendiri, memilih agama sesuai keinginannya sendiri
Tapi dimana orang gila beragama berada, di agama yang benar-benar benar, atau yang lain ?
orang gila sudah lupa bahwa ada banyak agama yang sama-sama jalan menuju Tuhan,
orang gila sudah lupa bahwa banyak paham di agamanya yang sama-sama menuju Tuhan yang sama, Allah
Tapi adakah Engkau, Tuhan yang dituju itu ?


Ah siapa aku ?
Orang gila beragama, tergila-gila pada agama, atau gila karena agama ?
Ah sudahlah, biar gila yang penting beragama agar bisa mendapatkan KTP

Nasihat Orang Suci Negeri Ini

Tidak usah mandi, yang mandi jijik pada diri sendiri
mending pakai minyak wangi untuk menimpali bau bangkai


(2010)

Opera Mini

Teknologi berlari dengan kecepatan tinggi
membias ke segala arah tanpa permisi
melahirkan eksitasi, pasif reaksi
provokasi teknologi benar-benar tak bisa dibendung lagi


Opera mini menjerat kuat pipet pengalir logika; mati suri
memenjara pikiran dalam peti; ironi
rasa-rasanya jendela dunia dibatasi bingkai ilusi
kata-kata tak bermakna jadi ekstasi perayaan diri
durasi kekosongan begitu panjang, tak ada lagi refleksi
labirin opera mini telah menyesatkan eksistensi


(2010)

Tepi ke Tepi

Tepi hari ke tepi hari
Saat rokok dan kopi hampir selalu hadir
membawakan hidangan kesepian yang bukan pesanan
pertama fantasi, lalu anestesi


Lamunan yang kelaparan melahap hidangan yang disajikan
membuat kesadaran kesakitan, dipaksa menelan misteri mengeri
tak tahan, ikut tertelan
tercerna, tersisa sari-sari
menyatu dengan darah putih, mengalir di alir bulir kemurungan
keadaan berulang, selalu bermuara kekosongan
mencoba aliran lain, memutar, semakin kesasar
tak ada jalan keluar, hanya berputar-putar
sia-sia, tanya berjawab tanya


Tepi hari ke tepi hari
semakin ke tepi semakin sepi
benang merah sudah terlanjur basah
memerah ke sembarang arah, semakin sulit ditelaah
coba-coba mengurai, bukannya terurai, malah tercerai berai
coba diruntut semakin kusut
sama
sia-sia, tanya berjawab tanya


(2010)

Jumat, 21 Januari 2011

Obrolan dengan Seorang Komentator

Ada kalimat yang ditujukan kepada saya dalam jawa, "hidup jangan lurus-lurus, mengalir begitu saja, tidak ada kesan dan gregetnya."


"Hmmm. . .itu kan menurut Anda, justru hidup seperti ini yang berkesan bagi saya, mungkin juga orang lain," tanggapan saya dalam jawa juga.


"ya enggak, mana ada kesan yang didapat orang lain kalau hidupmu seperti itu," bantahnya masih dalam jawa dengan nada lebih tinggi.


"kalau hidup saya yang seperti ini tidak berkesan bagi orang lain bagaimana bisa Anda berkata seperti itu tadi ?" alasan saya juga dalam jawa.


Dia tidak menanggapi lagi, saya pun malas meneruskan. Sejenak kami diam dan lalu kami mengobrol lagi dengan topik lain yang keluar dari mulut teman yang lain. Suasana kembali seperti semula dengan canda dan tawa.

Minggu, 16 Januari 2011

Obrolan Setelah Buka Buasa

Hari senin tanggal 12 September 2009 sesaat setelah berbuka puasa bersama teman- teman dan seorang dosen, kami berbincang-bincang. Tanpa saya sadari, saya bertanya sesuatu yang mungkin ini pertanyaan bodoh yang tidak perlu ditanyakan, tapi itu menurut kalian dan mereka, tetapi bagi saya ini pertanyaan penting yang akan bisa membawa saya dalam pengelolaan diri yang lebih baik. Saya bertanya,”Pak,dulu motivasi Anda kuliah apa?”. Dengan entengnya dia menjawab,”Lha yo tekno dho kuliah makane aku yo kuliah (karena semua kuliah maka saya kuliah juga)”. Saya pikir jika seorang dosen pun demikian artinya sama seperti saya, berarti masih banyak lagi yang kuliah hanya karena memang keadaan yang menuntut kita harus kuliah. Kemudian dosen itu meneruskan jawabannya,” memang sewaktu pertama kali kuliah, aku kuliah hanya karena itu, namun aku berpikir kembali, masa’ dosen hanya cukup dengan cuma S1 saja. Lalu aku memutuskan untuk kuliah, tapi tidak di jogja, nggak enak karena dosennya disana itu temen-temenku juga jadi aku harus kuliah di Jakarta atau di luar negeri. ...”.

Hingga akhirnya dia berkata

Jumat, 14 Januari 2011

Mengisi Waktu Luang

Pada hari senin di bulan Agustus tahun 2009 ketika puasa baru memasuki hari ketiga, saya menjenguk seorang teman yang sedang sakit di Rumah Sakit yang sedang sakit asma. Tiba-tiba ada kalimat tanya yang tanpa saya sadari melintas begitu saja waktu itu

”Apakah saya ini seperti orang sakit di rumah sakit ?”
Apa yang saya lakukan hanya itu-itu saja, tertata rapi dan teratur. Kenapa itu terjadi? Apakah setiap hidup orang memang selalu demikian ?

Kenapa tidak seperti seorang teman yang dulu ketika sakit

Rabu, 12 Januari 2011

Secangkir Kopi di Malam Hari Menjelang Dini Hari

Suatu malam hari menjelang dini hari, aku terbangun karena rasa laparku. Aku biarkan kedua mataku ini menyatu dengan cahaya lampu kamarku yang remang-remang agar rasa lapar tidak begitu liar di perutku. Setelah beberapa lama dan aku tersadar betul bahwa ternyata aku terbangun karena lapar, aku bangun dari tempat tidurku. Membuka pintu kamar yang ternyata aku tidak menutupnya rapat, semoga tidak ada tikus yang masuk ke kamarku, ya semoga saja. Harap maklum rumahku di desa, harus mau berteman dengan tikus walaupun aku tidak menyukainya. Eh mungkin tikus juga melakukan hal-hal yang penuh inspirasi ya ? besok deh aku cermati dulu tingkah lakunya, bagi kalian yang sudah tahu tidak usah sungkan jika mau memberitahuku apa sebenarnya dibalik adanya sang tikus yang katanya harus dibasmi itu, agar aku bisa akrab dengan mereka.

Sebelum melantur kemana-mana, lebih baik aku teruskan