Sabtu, 06 Agustus 2011

Mengayuh Senja Desa Menuju Nyala Pertama Lampu Kota

Aku, Su begitu biasanya kawan sepadan usia memanggil. Keturunan dari tetua desa atau disebut pak kaum. Seorang anak desa yang sejak kecil dituntut oleh orang tua untuk berilmu pengetahuan modern sehingga hanya TK dan SD saja belajar resmi di lingkup desa. Selanjutnya diharuskan melanjutkan sekolah di kota atau paling tidak sekolah itu berada di kawasan sebelah timur lingkup desa karena kawasan sekolah di sebelah barat dianggap menjadi sekolah yang hampir tidak memiliki prospek masa depan cerah.

Sore itu, silau menyambut mata sayu seketika setelah pintu kubuka sempurna. Secepat kilat mata sudah penuh dengan cahaya dan mulai nampak apa yang ada di sekeliling yaitu lapangan bulutangkis, jemuran, dan pepohonan.

Seiring kembalinya kesadaran, terpandang langit timur jauh masih secerah tengah hari tadi. Bersih seperti kain biru muda tanpa motif dan gradasi warna dibentangkan. Namun, hawa panas pembuat pening di kepala mereda ketika kutingggal tidur siang sekitar tiga jam. Waktu yang sangat lama untuk
menyelesaikan satu episode mimpi bolong.

Aku berjalan menuju jemuran untuk memastikan kekeringan pakaian. Kulayangkan pandangan sejauh-jauhnya, tapi masih penuh kekosongan. Terlihat beberapa gumpalan awan sedikit hitam mengungu mewarnai langit sebelah selatan. Gelombang awan sebelah barat ke utara kemerahan tersambar cahaya matahari. Penampakan senja penuh warna itu memantik ide untuk bersepeda. Tanpa diperintah anggota badan bersatu mengangkati pakaian tanpa peduli lagi dengan kering. yang terpikir hanya bagaimana bisa menikmati senja di perjalanan dari desa ke kota, lalu merayakan kelelahan dengan nyala pertama lampu tua kota di Tugu Jogja.

Aku bergegas kembali ke dalam rumah. Kulempar pakaian pada kursi di ruang keluarga. Kemudian pergi ke garasi untuk mengecek sepeda. Sesampainya disana kujumpai sepeda dalam keadaan memprihatinkan, sangat kotor dengan ban gembos. Sepeda yang telah mencatatkan dirinya sebagai salah satu pelaku sejarah dalam perjalanan hidupku sejak kelas tiga SD memang lama tidak dipakai olehku atau pun salah satu anggta keluargaku. Kami lebih banyak menggunakan sepeda motor walau hanya bepergian tak jauh dari rumah.

Aku siapkan sepeda dengan mulai memompa ban dan lalu membersihkannya. Satu-persatu bagian kulap, ternyata masih tertempel stiker-stiker sewaktu SMP dulu. Ah, sepeda bersejarah yang sudah lama terlupakan. Sejak kelas tiga SMP akhir sudah jarang dipakai. SMA lebih jarang lagi. Kuliah apalagi, jumlah jari tangan dan kaki pun masih lebih banyak jumlahnya padahal sudah empat semester kulalui. Betapa terlantar sepeda yang setelah lulus SMP lebih banyak dipakai ayah untuk kesawah atau menjemur padi, tapi masih perkasa perawakannya.

Setelah sepeda siap, kini mulai mempersiapkan segala keperluan selama perjalanan untuk diri sendiri. Aku pergi ke kamar untuk mengambil botol air mineral lalu kuisi dengan air dari cerek yang ada di dapur. Kuambil sarung untuk shalat nanti dalam perjalanan, kumasukkan dalam tas, lalu mengambil rokok dan korek sisa semalam yang siang tadi belum juga aku merokok sebatang pun. Seharian tadi aku lebih banyak tidur tanpa karya karena tidak ada kuliah, hanya bangun untuk mandi dan pergi shalat jumat, juga makan lalu tidur lagi hingga sore sebelum keluar dan melihat penampakan senja hingga timbul keinginan melakukan perjalanan dengan sepeda.

Jam setengah lima semua persiapan selesai, tinggal berpamitan pada ibu. Aku ke ruang tamu dimana ibu biasa tidur siang, di kursi panjang, dan memang sore itu beliau tidur di sana. Kugoyangkan tubuhnya dengan tangan agar bangun sambil memanggil,”Bu”,”Bu”,”Bu” tiga kali dan beliau terbangun.

Dengan mata kemerahan dan tampak bangun dengan cukup kecewa karena mungkin tidurnya baru sebentar dan belum saatnya bangun beliau mengajukan pertanyaan,”Ada apa nak ?”

Dengan agak menyesal karena telah membangunkannya demi berpamitan sesuai dengan pesan ayah dulu, bahwa kalau mau pergi sebaiknya berpamitan pada siapa saja yang ada di rumah, aku menjawab,”Aku mau bersepedaan dulu, pintu sebelah timur kukunci, nanti malam tidak usah dikancing”.

“Mau bersepedaan kemana ?”, tanyanya dengan nada khawatir seorang ibu.

“Aku mau bersepeda ke Tugu kemudian ke Alun-Alun Selatan”, aku menerangkan.

“Ya, hati-hati nak, jangan lupa shalatnya”, pesan ibu.

“Ya Bu”, jawabku menjanjikan. Seluruh percakapan kami dalam bahasa jawa karena memang itu menjadi alat interaksi utama sehari-hari sebagai warga asli jogja. Sebagian besar masyarakat Jogja masih menggunakan bahasa jawa dalam kesehariannya meskipun bahasa jawa sendiri di kalangan anak muda mulai terkikis oleh bahasa gaul hasil paduan berbagai bahasa. Mungkin kemajuan teknologi khususnya handphone yang menyediakan layanan sms menjadi penyebab paling berpengaruh atas pesatnya kikisan bahasa daerah yang satu ini sehingga sekarang hanya menjadi alat interaksi dan tidak lagi memegang peranan penting dalam budaya dan kehidupan orang jawa khususnya Jogja.

Ibu meneruskan tidurnya dan aku mengeluarkan sepeda dari garasi melalui pintu sebelah timur lalu menguncinya. Dengan senang aku kayuh sepeda untuk pertama kali setelah entah berapa lama tepatnya..

Keluar dari pekarangan rumah, aku melihat seorang tetangga sedang memberi makan pada ikan peliharaan yang menjadi kebiasaannya di pagi dan sore hari. Sampai di pertigaan, salah satu cabangnya merupakan jalan menuju rumahku, mata dihadapkan dengan persawahan. Hati merasakan suasana damai desa yang masih terjaga. Banyak orang pergi ke sawah untuk melihat kondisi padi milik sendiri sambil berbincang satu sama lain, karena sekarang bukan musim untuk melakukan pengelolaan berarti di sawah. Terlihat juga para ibu sedang berjalan-jalan sambil menyuapi balitanya.

Jumlah capung yang berterbangan pada sore hari ketika aku masih kecil sudah sangat berkurang. Dan diri berubah melankolik sore ini. Dulu, disini aku biasa menghabiskan waktu bersama kawan-kawan sepantaran. Menerbangkan layang-layang, menyetrum ikan di selokan, memancing di sungai tepat di seberang persawahan atau membantu orang tua mengelola sawah. Tapi sebab tuntutan orang tua yang mengharuskan belajar di sekolah kota telah merubah kebiasaanku itu. Semenjak SMP aku lebih banyak mengisi waktu luang dengan teman-teman sekolah dari pagi sampai sore sehingga jarang bercengkrama dengan kawan-kawan di desa. Sejak itu pula seakan aku lupa pada sawah yang telah memberikan segala hasilnuya untukku dapat bertahan hidup sampai sekarang.

Tidak terasa sekarang sudah sampai di godean. Jalur berangkat dan pulang sekolah saat SMP telah terlalui. Bayang-bayang masa lalu tadi telah mengalihkan perhatian dari penampakan senja.

Semakin ke timur semakin sedikit warna hijau. Bangunan telah mengambil alih fungsi tanah sebagai lahan pertanian. Pinggir jalan didominasi jejeran bangunan untuk perdagangan yang merupakan anak-cucu dari modernisasi. Jalan Godean sekarang menjadi penanda peralihan dari kehidupan bertani ke kehidupan berdagang atau lebih tepatnya berwirausaha seperti yang sedang digalakkan oleh pemerintah, para ekonom dan instansi pendidikan.

Warung-warung nasi mulai menampakkan diri. Mungkin itu adalah salah satu tanda jaman modern karena di desa akan sulit ditemukan. Lahan pertanian yang masih produktif menghasilkan produk-produk sumber utama makanan dan orang desa yang memiliki kemauan serta kemampuan memasak sendiri menjadi penyebab utama warung nasi di pedesaan tidak dapat berkembang. Prestise makan di warung elit pun terabaikan dari pikiran orang desa karena makan bukan menjadi suatu kebanggaan yang menunjukkan status sosial melainkan kebutuhan dasar manusia.


Perjalanan panjang yang terasa pendek. Begitulah kiranya kata-kata paling tepat untuk mencerminkan perjalanan sore itu. Aku sudah sampai di Tugu Jogja dan jam di handphone menunjukkan pukul enam tepat. Lampu kota belum menyala. Dua minggu ini, siang hari memang terasa lebih panjang daripada malam. Seakan matahari sedang malas bergerak turun atau bumi yang enggan berrotasi.

Sepuluh menit kemudian lampu-lampu tua kota mulai memancarkan cahaya remang-remang. Kurayakan nyalanya dengan hisapan rokok dalam-dalam. Sungguh romantis kejadian malam menelan siang kali ini. Sorotan lampu-lampu kendaraan bermotor mendatangkan kembali pikiran tentang kehidupan modern. Ah, inikah kehidupan berilmu pengetahuan modern yang diinginkan orang tua, pergi pagi dan pulang jam sekian hingga hanya dapat menikmati penghabisan senja sendirian di atas kendaraan, kehilangan waktu berbincang dengan keluarga juga tetangga saat menjelang malam.

Habis rokok sebatang, kesadaran menelan lamunan, kemudian aku beranjak untuk melanjutkan perjalan ke alun-alun selatan lalu pulang sambil menyematkan barisan kata-kata untukku sendiri,”Aku akan kembali lagi ke sini lain kali sebagai anak desa yang dapat membangun desa dengan ilmu pengetahuan modern namun tetap berkehidupan pedesaan juga berkebudayaan jawa”.

#pernah melayang ke Malang Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar