Selasa, 13 September 2011

yah, Mati deh

Orang itu tertembak setelah menembak. Dia tersungkur kena peluru di dada. Polisi menghampiri,”Sekarat. Mobil. Cepat.” ”Remaja ini mati.” Teriak dari seberang. Orang itu dan yang ditembak dinaikkan mobil. Dilarikan ke rumah sakit.


“Dokter.... Selamatkan ! Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.”
“Apa yang dilakukannya ?”
“Membunuh.”
“Ya sudah, biarkan saja, kalau mati, dia sudah bertanggung jawab.”
“Dimana perikemanusiaan ?”
“Dimana perikeadilan ?”
“Biar hakim memutuskan. Cepat !”
“Ah, lagi-lagi kasus ini.”
“Cepat ! Dia sekarat.”
“Masih perlu pembunuh diselamatkan ?”
“Tentu saja, dia manusia.”
“Bagaimana jika nanti membunuh lagi ? Lebih banyak ? Kan tanganku ini juga membunuh meski tidak secara langsung. Kamu siap menanggung dosa dan derita ?”
“Ya nggak mau, kamu berbuat, kamu tanggung sendiri.”
“Apa ? Kamu juga terlibat. Kan situ yang suruh !”
“Aku tidak bisa dituntut. Tidak ada saksi dan bukti autentik. Suara memudar di udara.”
“Tak butuh saksi dan bukti. Pengakuan !”
“Aku tak mau mengaku tanpa saksi dan bukti.”
“Masa perbuatan sendiri tidak diakui. Tak adil !”
“Yah, mati deh. Apa-apaan kalian, bukan menolong malah berdebat.”
“Kamu pembunuh !”
“Bukan. Kamu. Dia mati ditembak. Kan kamu yang menembak !”
“Kamu ! Tak mau segera menolong.”
“Kamu mengulur waktu. Mengajak debat.”
“Sudah, sudah ! Biar saja ! Tidak ada membunuh-dibunuh. Dia mati karena rohnya menanggalkan raganya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar