Jumat, 09 September 2011

Dongeng Pengantar Tidur#2 : Bosan Akut

“Kenapa alarm belum berbunyi kamu sudah mapan ?” Tanya ibu. Dingin. Masih menatap bacaannya.
“Iya bu, aku lelah sekali, ingin segera lelap.” Keluhku.
“Kan kau tidak mengeluh ?”
“Tidak Bu. Aku cuma mengatakan yang sesungguhnya.” Ku bohongi ibu. Lagi.
“Baiklah.” Ibu menutup bacaannya. Menggantinya dengan buku dongeng. Dibukanya halaman yang kemarin ditandai..
“Bu.”
“Iya, ada apa ?”
“Kan dongeng kemarin belum selesai. Kenapa tak dilanjutkan dulu sampai selesai ?”.
“Hmmm….Baiklah. Kau sudah pintar meminta.” Ibu menutup buku dongeng. Menaruhnya di atas perutnya. Memejamkan kedua mata. Menarik napas dalam. Mengingat dongengnya kemarin. Meraih pundi imajinasi. Melanjutkan,” Penulis itu duduk di sebuah bangunan dusun. Bangunan itu terletak di pinggir jalan. Diapit sawah. Membelakangi sawah pula. Melamun. Menyungging senyum bosan. Bosan karena hanya pujian yang didapatkan.

Orang-orang mulai berdatangan. Penulis itu bergeming di tempatnya. Bersila di tenpat yang sudah dilingkari. Khusus baginya. Orang-orang itu duduk berhadapan dengannya. Berbincang satu dengan yang lain. Kemudian tiba serombongan lagi bersama Pak Kepala Dusun. Rombongan itu membaur dengan orang-orang yang datang lebih dulu. Pak Kepala dusun berdiri disamping penulis itu. Semua diam. Pak Kepala Dusun menebar pandang perlahan. Menghitung penduduk dusun yang datang. Pandangan sampai sudut terakhir. Bicara sedikit teriak,” Seluruh penduduk dusun sudah lengkap. Segala usia, semua jenis kelamin, semua profesi, sudah hadir. Pengadilan Bebas hari ini dinyatakan “DIBUKA”. Silakan semua berpendapat. Apa saja. Sesuai tema.” Pak Kepala Dusun menoleh dan mengangguk pada penulis. Berjalan menuju kumpulan orang dusun. Duduk membaur.

Yang bicara pertama adalah penulis,” Saya ini bosan. Bosan akut. Apa saja yang saya tulis, kalian bilang suka. Tulisan satu kalimat tanpa judul pun, kalian bilang suka. Kalian selalu memujiku. Kalian memuji tulisanku. Tidak satu pun berpendapat lain. Tolong saya dari bosan akut. Saya mohon komentar, kritik dan saran. Apa saja. Asal bukan pujian. Menulis tanpa ada kritik dan saran sangatlah membosankan.. Tolong. Tolong saya.”

Beberapa orang dari dusun lain berhenti. Duduk membaur dengan orang dusun, di atas sandal, di atas rumput, di atas motor., di atas sepeda Ada juga yang berdiri. Ikut nimbrung. Segan. Diam. Ada yang bingung menyaksikan orang yang dipujanya dalam Pengadilan Bebas. Pengadilan khas dusun itu. Semua bebas mengadili. Namun yang diutamakan adalah mempertanyakan bukan mengadili. Mempertanyakan langsung pada yang bersangkutan. Namun, jika tidak ada yang mempertanyakan boleh juga berpendapat apa saja.

“Sebelumnya, maaf Tuan, saya sangat menyukai tulisan Tuan, tulisan Tuan sangat menarik, ketertarikan itu muncul dengan sedirinya, ya, sekalipun saya tidak paham dengan apa yang Tuan tuliskan, sebenarnya apa sih yang Tuan tuliskan ?” seorang anak yang masih belasan tahun angkat bicara.

Penulis menghela napas. Kecewa karena ada kata suka diselipkan. Lalu menjawab sekenanya,”Saya juga tidak tau apa yang saya tulis.”

Tanya jawab berlanjut. Semakin banyak yang angkat bicara. Semakin bervariasi. Variasi usia. Variasi jenis kelamin. Variasi profesi. Tetapi Penulis semakin bosan. Sebab setiap yang angkat bicara selalu menyelipkan suka. Lalu hening sejenak. Mungkin semua bingung. Bingung mau mengatakan apa. Mereka saling memandang. Pandangan dengan maksud agar yang dipandang berpendapat sesuatu. Tapi semua tetap diam.

Penulis panik. Meratap,”Saya sudah membuat penelitian tentang hal yang paling kalian benci. Lalu dari penelitian itu saya jadikan sebagai bahan membuat tulisan. Tapi kalian tetap bilang suka. Lalu saya harus bagaimana ?”

Orang dusun ikut panik. Serempak menoleh kebelakang. Menatap orang dari dusun lain. Meminta mereka berpendapat. Seseorang memberanikan diri bicara,”Ehm… Apakah saya yang bukan penduduk dari dusun ini boleh berpendapat ?” Semua kembali menghadap penulis. Lega ada yang berkata-kata.

“Silakan, semua boleh berpendapat, meski bukan penduduk dusun ini.” Mengharap ada kata-kata yang mengobati kebosanannya.

“Begini Tuan. Karya tetaplah keseluruhannya. Karya apapun itu. Musik. Lagu. Film. Lukisan. Juga tulisan. Kalau karya itu sebuah tulisan, ya, penulis, pembaca, penjiplak, komentar, kritik, saran, suka, tidak suka hanyalah bagian-bagian dari tulisan itu. Termasuk Tuan dan rasa bosan yang Tuan derita,”

Rombongan ahli kritik yang sengaja diundang tiba. Mereka menempati posisi menyamping, antara penulis dan orang-orang yang datang. Mereka langsung menyerang. Serangan yang direka. Tidak sepenuh hati. Mereka menyukai penulis dan tulisannya. Tapi mereka datang untuk menghormati orang yang dikagumi atas undangan Pak Kepala Dusun. Sebagian ahli mengkritiknya dengan : Tuan tidak peduli dan tidak mau belajar tentang kaidah-kaidah penulisan yang benar maka tulisan Tuan selalu saja sangat berantakan. Sebagian yang lain menimpali kritik : Dia paham kaidah-kaidah penulisan, tapi dia sengaja membuat tulisannya begitu. Sebagian yang lain lagi mencela : Berhentilah menulis Tuan, tulisan Tuan buruk, seburuk rupa dan penampilan Tuan. Sebagian yang lain dari yang lain mengumpat : Penulis dan tulisannnya sama-sama aneh, sama-sama jelek. Sebagian yang lain dari yang lainnya yang lain hanya diam, tidak peduli, karena menurut mereka penulis itu dan tulisannya tidak layak untuk dikrtik.

Menjelang senja tanya jawab masih berlangsung. Belum semua angkat bicara. Pak Kepala Dusun berdiri. Menghadap seluruh yang hadir. Mengangguk. Tersenyum. Kembali bicara setengah teriak. “Senja sudah datang, Pengadilan Bebas hari ini saya nyatakan “DITUTUP”. Jika ada yang masih ingin mempertanyakan, silakan langsung pada Tuan penulis (menoleh pada penulis). Dia tinggal di sana (Menunjuk sebuah rumah di seberang jalan).”

Kecuali Pak Kepala Dusun dan Penulis, semua yang hadir berhamburan. Mungkin pulang. Mungkin main. Mungkin entah kemana. Penulis menjabat tangan Pak Kepala Dusun, mengucap,”Terima kasih Pak, Bapak sudah mau menyela waktu kerja untuk permintaan saya, membuka Pengadilan Bebas.”

“Sama-sama Tuan, Kan ini juga kerja. Masih merasa bosan ?”
“Masih Pak, tapi tidak akut lagi. Komentar, kritik dan saran tadi belum begitu greget bagi saya. Mereka masih setengah-setengah. Masih menyelipkan pujian, suka.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar