Alarm Hp berbunyi. Tanda jam belajar selesai. Aku ambil selembar potongan kertas, menyelipkannya pada halaman terakhir yang kubaca. Hanya sekedar pengingat jika lupa. Meletakkan buku di sudut meja. Tanda belum selesai dibaca. Aku berdiri, meregangkan sendi, otot, urat, syaraf, pikiran, imajinasi, dan semua yang tegang.
Ibu masih duduk di tepi kasurku. Melihatku selesai berkemas, ibu ikut menutup bacaannya. Menarik napas dalam-dalam. Menghembuskannya. Mengulangnya sambil memejamkan mata.
Aku Pergi ke kamar mandi. Menjalankan ritual sebelum tidur. Menggosok gigi. Pipis. Cuci muka, cuci kaki, cuci tangan, dan mengeringkannya dengan handuk. Kembali lagi ke kamar.
Ibu masih ditempatnya. Tangannya sibuk membolak-balik halaman. Bukan buku yang dibacanya tadi. Aku hafal benar gambar di sampul itu. Ibu selalu membawa buku ajaib itu. Buku dongeng kanak-kanak. Wajah ibu menampakkan keseriusannya. Dahinya mengkerut. Matanya terpincing. Mungkin bingung memilih dongeng apa yang akan dibacakannya untuk mengantarku tidur malam ini.
Aku berbaring di kasur busaku. Membiarkan bantal menopang kepala. Menebarkan selimut dari ujung kaki sampai leher. Mendekap guling. Hadap kanan. Balik kiri. Tengkurap. Telentang. Membenahkan selimut. Mencari posisi yang nyaman untuk tidur.
Ibu tidak peduli dengan kegelisahanku. Beliau asyik dengan kegelisahannya sendiri. Bimbang. Bingung memilih dongeng. Hampir semua dongeng dalam buku itu telah dibacakan ulang lima kali. Tapi dongeng itu tetap berhasil mengantarku tidur. Lalu malam ini apa ? Aku menunggu ibu mengawali dongeng. Dari kalimat awal dongeng, aku bisa meneruskannya sampai akhir.
“Sudah nyaman nak ?” Tanya ibu, mungkin mengerti kegelisahanku.
“Sudah Bu.” Jawabku berbohong, aku belum nyaman, tapi tak sabar mendengar kalimat pertama dongeng malam ini.
Ibu menaikkan kedua kakinya pada kasurku. Mengambil bantalnya yang sengaja ditaruh di kamarku. Meletakkanya melintang pada kepala ranjang. Menyandarkan punggung dan kepalanya pada bantal. Mengangkat buku dongeng biar bisa dibaca dengan nyaman. Membuka halaman yang sudah ditandai. Lalu,“Ya, awalilah segala dengan nyaman, termasuk tidur, agar ketika bangun nanti kembali segar bugar, bukan malah…”
“Lesu.” Selaku. Aku juga hafal benar setiap kata ibu sebelum mengantarku tidur dengan dongengan. “Lekas baca dongengnya Bu, aku sudah siap untuk terlelap”.
“Kamu selalu saja tidak bisa…”
“Bersabar kan Bu ?”
“Iya”, Tu kan benar, aku hafal benar kata Ibu. “Lekas Bu.”
“Sudah siap benar ?”
“S(i)hap Bu”
“Baiklah. Dengarkan baik-baik ya. Perhatikan.” Ibu menarik napas secukupnya, biar habis pas dengan kalimat pertama. “Pada jaman….”
“yang akan datang, entah kapan itu, yang jelas datangnya masih sangat lama. Begitu sepertinya lebih baik Bu, aku sudah bosan dengan waktu dahulu kala. Kan Ibu bilang, cuma yang akan datang yang memberi kemungkinan.”
“Hmmm…”, Ibu menghela napas, membelaiku dengan tatapannya, kemudian tersenyum anggun nan agung padaku.
“Ibu ulangi ya. Pada jaman yang akan datang, entah kapan itu, yang jelas datangnya masih sangat lama, hiduplah seorang…”
“Penulis, Bu, aku bosan dengan dongengan Raja, Putri, Putra Mahkota, Orang kaya menjadi miskin, atau Orang miskin menjadi kaya. Kan Ibu bilang penulis itu hebat. Apapun yang ditulisnya, dia bisa memintarkan, membodohkan, menyembuhkan, melukai, meluruskan, menyesatkan, membuat terjaga sepanjang malam, juga melelapkan tidur, pembaca tulisannya”.
“Hmmm…” Sekali lagi. Ibu menghela napas, membelaiku dengan tatapannya, kemudian tersenyum anggun nan agung padaku.
“Dengarkan baik-baik ya, Ibu ulangi lagi. Pada jaman yang akan datang, entah kapan itu, yang jelas datangnya masih sangat lama, hiduplah seorang penulis. Penulis itu sangat disegani. Apapun yang ditulisnya selalu dibaca banyak orang. Orang yang dulunya tidak suka membaca menjadi suka setelah membaca satu saja dari semua tulisannya. Bahkan ada yang hanya mau membaca kalau dia yang menulisnya.
Sebenarnya dia sendiri tidak merasa bahwa tulisannya itu bagus. Menurutnya tulisan teman-temannya lebih bagus. Tulisan orang yang baru menulis pertama kali pun dirasainya lebih bagus dan lebih layak dibaca. Oleh karena itu dia tidak menyebut dirinya sebagai penulis.”
Ibu menoleh padaku, menatap tepat kedua bola mataku, matanya yang memerah itu memperhatikanku penuh selidik, tersenyum,”Belum tidur nak?”
“Belum Bu. Kan Ibu bilang, kita harus menjadi pendengar yang baik. Apapun yang dikatakan orang, siapapun orangnya, kita dapat belajar dari apa yang dikatakannya.”
“Hmmm…” Lagi. Ibu menghela napas, membelaiku dengan tatapannya, kemudian tersenyum anggun nan agung padaku.
“Ayo Bu. Lanjutkan ceritanya.” Entah mengapa kalau ibu yang bercerita aku selalu bisa mendengarkannya dengan penuh perhatian. Biar yang diceritakannya adalah cerita yang sudah diulang-ulang, perhatianku pada setiap kata-katanya tidak pernah berkurang. Meskipun di luar kepala aku bisa melanjutkan ceritanya, tapi tetap ada daya tarik tersendiri kalau ibu yang bercerita.
“Baik Nak, Ibu lanjutkan. Penulis itu menganggap bahwa tulisannya tidak sesuai dengan kaidah yang sudah ditentukan. Dia hanya menuliskan apa yang mau dituliskan. Seakan dia tidak peduli pada isi dan kata-kata ditulisannya. Bukan seakan melainkan memang tidak peduli. Tapi tidak sengaja dia tidak peduli. Ketidakpedulian itu muncul dari alam bawah sadarnya. Sudah bawaan dari sananya.
Penulis itu dijuluki “Aneh” oleh siapa saja yang tahu tentang dirinya. Julukan “Aneh” disandangkan padanya tidak hanya karena tulisannya yang berantakan. Tetapi juga karena kebiasaannya ketika menulis. Sebelum mulai menulis dia selalu melepas perekat pada bungkus rokok. Menyiapkan bolpoint. Membuat kopi. Menyulut sebatang rokok. Menghabiskannya. Baru lah dia mulai menulis. Menulis dan menulis apa saja yang terlintas. Apa saja. Tidak dibiarkan setiap kata lewat tanpa digoreskannya pada bekas bungkus rokok.
Penulis itu mengakhiri tulisan hanya ketika dirasainya tulisan itu selesai. Tapi masih mungkin untuk disunting kembali. Menyunting sambil menuliskannya pada bekas bungkus rokok yang lain. Tetapi ketika dia sudah membuat kopi. Menyulut rokok. Menikmati kopi dan rokok sambil membaca tulisannya. Baru lah tulisan itu benar-benar selesai baginya. Sudah pasti tidak akan disunting kembali. Meskipun pada tulisan itu dirasainya ada satu kata yang diulang-ulang dalam satu kalimat, ada kalimat yang juga diulang-ulang, tidak ada keindahan kata-kata, tidak ada kohesi dan koherensi, alurnya acak-acakan, tidak sesuai kaidah-kaidah penulisan yang berlaku, akhir tulisan berbias. Pun meski tulisannya itu tidak mempunyai makna atau pesan tertentu bagi pembaca. Tetap dibiarkannya saja begitu. Baginya tulisan itu sudah selesai. Habis sebatang rokok terakhir, segelas kopi segera dihabisi. Habis. Tulisan itu selesai. Saatnya istirahat. Nanti berganti menulis yang lain.”
Samar-samar aku merasa ibu menoleh padaku. Mengecup keningku. Membenahkan selimutku. Membelaiku dengan tatapannya. Tersenyum anggun nan agung padaku. Berjalan menuju pintu. Bapak menyambut ibu. Merangkulnya. Mereka memperhatikanku. Mereka tersenyum. Aku tersenyum. Bapak mencium kening Ibu. Ibu menutup pintu kamarku. Aku terlelap.